KEBUDAYAAN DALAM KARYA PENYELAMATAN
ALLAH
Banyak
sekali pokok kebudayaan umum, norma-norma dan kebiasaan masyarakat yang
diterima di Israel dan di bangsa-bangsa sezamannya juga. Dari segi etika timbul
pertanyaan: bagaimana bangsa Israel yang unik tersebut dapat berhubungan dan
berinteraksi dengan kehidupan sosial dan budaya itu? Di sini kita akan melihat
masing-masing respon dalam konteks Perjanjian Lama kemudian mengemukkan
beberapa petunjuk mengenai relevansinya bagi etika Kristen.
Pandangan
Bangsa Israel Mengenai Kebudayaan Mereka Sendiri
Ada
beberapa pratik kebudayaan pada masa itu yang menjijikkan di hadapan Allah dan
karena itu dilarang bagi Israel. Umumnya praktik tersebut dihubungkan secara
langsung atau tidak langsung dengan agama orang Kanaan. Larangannya terhadap
praktik tersebut bukan hanya karena jahatnya praktik tersebut, tetapi karena
Isarel dapat terjerat dalam penyembahan berhala dan ilah-ilah lain. Salain itu,
dampak-dampak lain dari agama Kanaan atas masyarakat juga mendapat kecaman dari
para nabi misalnya terhadap pelacuran bakti dan penyelewengan seksual lainnya.
Praktik roh-roh jahat dilarang, termasuk perdukunan, ilmu sihir, pernujuman dan
lain sebagainya. Yang paling ditentang adalah praktik pengorbanan anak, yang
dalam Kitab Ulangan dipandang sebagai wujud yang paling buruk dari peribadatan
yang “menjijikkan” itu (Ul 12:31).
Rolan
de Vaux bertanya apakah pengorbanan anak sulung dipraktekkan secara teratur. Ia
meragukan pembacaan harafiah dari teks Alkitab dan berpikir bahwa anak sulung
itu pastilah ditebus.[1]
Moshe Weinfeld berpendapat bahwa ungkapan seperti “membakar anak-anak laki-laki
dan perempuan”, bisa dimaksudkan sebagai ritual
inisiasi yang bukan pengorbanan, atau sebagai gambaran saja atau ungkapan
hiperbola dari para nabi.[2]
Terhadap
hal-hal tersebut, banyak mendapat pertentangan dari masyarakat Israel sendiri
dan hal tersebut dapat terlihat dalam Keluaran 22:18; 23:24; Imamat 18:3,
21-25; 19:26,31; 20:2-6,22-23; Ulangan 12:29-31; 18:9-13, 17-18. [3]
Jadi, masyarakat Isarel sangat ingin menjaga kebudayaan mereka agar terhindari
dari hal-hal yang dilarang oleh Allah yang mengakibatkan mereka menerima
hukuman Allah akibat pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, adat istiadat dan
kebiasaan mereka dikendalikan oleh perundang-undangan yang telah ditetapkan
oleh mereka dan Allah.
B. Hubungan
Kebudayaan Israel Kuno dengan Tradisi Keluaran, Sinai, dan Perjalanan di Padang
Gurun
Ada beberapa perdebatan
di kalangan para ahli tentang masalah hubungan “tradisi Sinai” dengan “tradisi
Keluaran”. Tegasnya ada suatu kelompok ahli, termasuk Von Rad dan Martin Noth,
yang berpendapat bahwa mula-mula kedua tradisi tersebut tidak ada hubungannya
satu sama lain. Soal ini memang penting sekali dalam rekonstruksi sejarah agama
Israel, sehingga kita perlu menyelidikinya secara lebih mendalam.
Martin Noth memulai
observasinya dari daftar keduabelas suku Israel yang tampak dari beberapa
tempat di Perjanjian Lama. Pusat kultus menurutnya ada dalam perjalanan bahtera
Nuh dimana bergerak dari satu tempat ke tempat yang lainnya (Sikhem, Gilgal,
Betel, dan Siloh) yang kemudian suku-suku tersebut mewakili juru-juru bicara
dan penulis dari keduabelas suku Israel.[4]
Setelah observasi yang dilakukan Noth , kemudaian diperkuat oleh penelitian
VonRad sendiri.
Menurut mazhab Von
Rad-Noth, tradisi Sinai mula-mula terlepas dari tradisi historis dan timbul
berdasarkan motif-motif kultis (bnd. Ul 31:10). Corak perayaan pada masa raya
itu pasti mempengaruhi perkembangan tradisi tentang penyataan di Sinai. Pada
prinsipnya Noth mendukung pendapat yang demikian. Pendapat Noth dan Von Rad ini
menarik bagi banyak ahli dan dikuatkan oleh Von Rad dengan uraiannya tentang “Kredo Historis” yang sangat kuno, yakni
Ulangan 26:5b-9. Von Rad menemukan dalam beberapa pengakuan iman (kredo) dari keselamatan di dalam
Ulangan 26:5 yang berisikan:
“Orang-orang
Aram dulunya mengembara bersama bapa kami ke tanah Mesir dan menetap di sana;
dan di sana kami menjadi bangsa yang besar, kuat, dan termasyur. Dan di sana
orang-orang Mesir memperlakukan kami dengan kasar, menderita dan menjadikan
kami budak. Ketika kami bersedih kepada Yahwe Tuhan bapa kami, dan Yahwe
mendengar suara kami, kerja keras kami, dan penindasan yang kami derita; dan
Yahwe membawa kami keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat dan lengan yang
terulur; dengan kengerian yang besar; dengan tanda-tanda mengagumkan; dan Dia
membawa kami ke suatu tempat dan memberikan kami tanah, tanah berlimpah susu
dan madunya”.[5]
Von Rad mengaku bahwa “kredo” itu memang hanya terdapat dalam
tradisi Deuteronomis. Namun, menurutnya kredo tersebut lebih kuno daripada
tradisi-tradisi terkuno yang dikumpulkan dari oleh pengarang sumber Yahwis dan
Elohis. Kredo tersebut menurut Von Rad disusun pada jaman awal sekali di Bait
Gilgal. Kredo yang dianggap kuno itu menyebut para patriakh, keluaran, dan
masuknya Israel ke tanah Kanaan, tetapi tidak menyinggung tradisi Sinai.
Sehingga berdasarkan kenyataan itu, Von Rad berkesimpulan bahwa pada mulanya
Sinai tidak merupakan bagian dari riwayat keluaran dan perebutan tanah Kanaan.[6]
Melihat pendapat dari
Von Rad berdasarkan Ulangan 25:5b memang merupakan kredo yang kuno, tetapi
justru itulah yang belum dapat dibuktikan. Corak penulisannya adalah corak khas
dari Deuteronomistis. Dalam bentuknya sekarang, perikop tersebut tidak
merupakan bahan kuno, bahkan tidak dapat disebut sebagai kredo, tetapi jelas
merupakan suatu kata pengantar yang mengiringi persembahan buah sulung. Buah
sulung ini biasanya dipersembahkan dalam perayaan mingguan, perayaan panen.
Tujuannya adalah untuk menyatakan bahwa tanah dan apa yang dihasilkannya adalah
milik Allah sbagai pencipta. Buah sulung itu merupakan simbol rasa syukur dan
ketergantungan si pemberi kepada Yahweh; pada saat yang sama, buah sulung itu
dianggap sebagai jaminan hasil panen di masa yang akan datang.[7]
Dalam persembahan itu
si penyebah mengagungkan Yahweh sebagai Pemberi segala kebaikan, sebagai
Pemberi tanah dengan segala penghasilannya. Singkatnya, tidak ada alasan untuk
menganggap Ulangan 26:5b dan seterusnya sebagai suatu kredo kuno yang berasal
dari Bait Gilgal. Tidak dapat dibenarkan kalau ayat-ayat tersebut dianggap
sebagai ringkasan atas seluruh sejarah Israel, dari keluaran sampai perebutan
tanah Kanaan. Dengan kata lain, perikop tersebut tidak dapat digunakan sebagai
alat untuk mengadakan analisis historis yang memisahkan tradisi-tradisi kuno
yang termuat dalam sumber Yahweis dan Elohis.[8]
Berdasarkan beberapa
bahan-bahan yang dikumpulkan tentang hubungan kesatuan tradisi, seluk-beluk
keluaran, Sinai dan perjalanan di gurun disimpulkan bahwa kemungkinan besar
tradisi Sinai merupakan bagian integral dari tradisi padang gurun. Pandangan
alternatif bahwa tradisi padang gurun dan tradisi Sinai memang berasal dari
periode yang sama dan timbul dalam lingkungan yang sama. Dapat dikatakan bahwa
tradisi Sinai, yang menonjolkan gunung Allah dan penyataan Yahweh di atas
gunung tersebut merupakan unsur mutlak dalam tradisi-tradisi dasar yang menjadi
landasan kitab Keluaran. Nabi-nabi awal (yang terdahulu) juga (mis. Hosea)
mengaitkan Keluaran dan Sinai (Hos 2; 4:2; 8:1,13; 13:4). Pembebasan dari Mesir
mencapai puncaknya dalam Keluaran 19. Jadi, hubungan yang erat antara “riwayat
Sinai Yahweh”, “riwayat Pembebasan dari Mesir”, “Perjalanan di gurun” dan
“Perebutan tanah Kanaan” dapat diterima sebagai satu kesatuan tradisi[9] dan
juga sebagai karya keselamatan Allah.
Israel menjadi percaya
kepada Yahweh di padang gurun dan bukan dalam periode kemudian. Sebagai catatan
bahwa batapa hangatnya ketegangan yang timbul antara agama Israel dengan agama
Kanaan. Suku-suku Israel sebelumnya berjalan di gurun dan kemudian masuk ke
tanah Kanaan, sekiranya mereka tidak mempunyai pokok kepercayaan yang kuat, pastilah
tak mungkin mempertahankan dan mengembangkan agama Israel sampai mencapai ciri
khas yang begitu kuat berhadapan dan bertentangan dengan agama Kanaan. Sudah
tentu unsur-unsur agama Mesir, atau agama gurun, akan melebur dengan konteks
dan adat istiadat Kanaan.
C. Hubungan
antara Unsur Keagamaan dengan Hukum Dasa Titah.
Selanjutnya, ikatan
antara Yahweh dengan Israel pasti menuntut adanya seorang pengantara. Musa
dinilai sebagai oknum karismatis yang memang aktif sebagai pengantara antara
Yahweh dengan umat. Hubungan dengan Yahweh bukanlah menjadi titik awal,
melainkan menjadi puncak dari riwayat pembebasan Israel. Unsur keagamaan yang
diwariskan Musa adalah Dasa Titah. Dasa Titah, para ahli masa kini pada umumnya
berkesimpulan bahwa kedua unsur ini sebaiknya dikaitkan dengan periode padang
gurun. Dengan kata lain, Dasa Titah itu mengandung unsur-unsur yang justru
merupakan dasar untuk seluruh hukum pidana Israel. Bilamana dalam hukum Israel
ada hukuman mati dituntut atas pelanggaran peraturan-peraturan tertentu, maka
biasanya tuntutan yang ekstrem itu berkenaan dengan pelanggaran norma-norma
yang digariskan dalam Dasa Titah etis (Kel 20; Ul.5). Dengan kata lain, Dasa
Titah itu mengandung unsur-unsur yang justru merupakan dasar untuk seluruh
hukum pidana.[10]
Menurut cerita di
Sinai, Dasa Titah diberikan oleh Tuhan Allah kepada Israel (Kel 20:2-17).
Meskipun Musa menjadi perantara, namun perannya dalam pemberitaan Dasa Titah
adalah minimal. Dasa titah merupakan ringkasan yang sederhana tetapi menyeluruh
tentang ketentuan-ketentuan hakiki hubungan perjanjian dan membatasi tingkah
laku yang sesuai dengan keanggotaan umat Allah. Dengnan kata lain, Dasa Titah
adalah kebijaksanaan yang menentukan etos dan arah dari semua undang-undang
terinci lainnya.[11]
Sebagai kesimpulan
dikatakan bahwa memang tak mungkin menentukan soal asal mula Dasa Titah; tetapi
usul yang paling meyakinkan ialah bahwa Dasa Titah itu merupakan ringkasan
prinsip-prinsip hukum yang paling awal, yang dimaksudkan memberi arah pada
kehidupan masyarakat dalam semua hubungan internnya baik bersifat keagamaan
maupun kemasyarakatan.
D. Hubungan
Agama dan Kebudayaan
Banyak orang Yahudi
ingin turut serta dalam perkembangan-perkembangan kebudayaan yang terjadi pada
jaman itu, dan tidak mau diikat dengan larangan-larangan dan
kebiasaan-kebiasaan kuno. Kebudayaan dan agama begitu erat hubungannya,
sehingga orang Yahudi tidak mungkin mengambil kebudayaan dan menolak agama,
atau sebaliknya. Misalnya peraturan-peraturan mengenai makanan haram dan halal,
mengadakan pemisahan antara orang Yahudi dengan non-Yahudi. Peraturan-peraturan
seperti itu tidak dapat dipatuhi secara penuh jika orang Yahudi sudah menerima
kebudayaan Hellenisme. Itu berarti bahwa dengan mengambil alih kebudayaan
tersebut, Torah dikesampingkan dan
dengan demikian agama Yahudi ditolak, karena pada waktu itu “kepercayaan” dan
ketaatan kepada Torah sudah
hampir-hampir menjadi identik (hidup di bawah kekuasaan Torah).[12]
Torah sudah menjadi
kanon pada zaman Ezra atau tidak lama kemudian, sehingga kaum Yahudi meyakini
bahwa Torah tersebut merupakan penyataan Yahweh dalam bentuk tertulis. Mulai
saat itu tidak satupun dalam Torah yang boleh ditambahkan, diubah, atau
dikurangi, karena kitab itu dengan sendirinya merupakan firman Allah yang
mutlak dan utuh. Orang terdorong mentaati Torah terutama karena rasa takut
bahwa Allah akan menghukum individu maupun masyarakat kalau mereka melanggar. Jadi,
ketaatan kepada seluk-beluk Torah menjadi norma kehidupan di Israel. Tiap aspek
hidup keagamaan dan kemasyarakatan Israel dijaga ketat, supaya jangan ada unsur
baru, jangan ada unsur non-Yahudi yang masuk kedalamnya. Tidak dapat disangkal
bahwa ketaatan pada Torah yang begitu ketat itu membantu menyelamatkan dan
mengawetkan masyarakat Yerusalem.
E. Pandangan Teologi Tentang Budaya
Perjanjian Lama
menolong kita untuk melihat bahwa ada beberapa aspek dari masyarakat yang jatuh
ke dalam dosa, yang harus ditolak sebagai kekejian bagi Allah. Perjanjian Lama
juga memisahkan diri daripadanya dan memberikan petunjuk mengenai ciri-cirinya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa ada empat hal yang secara teologisnya
dilarang keras bagi Israel, yakni : penyembahan berhala, penyewengan dari yang
wajar, perbuatan yang menghancurkan manusia dan kekejaman terhadap orang
miskin. Orang Kristen sebagaiamana Israel dulu secara tidak sadar sering
membatasi Allah hanya pada hal-hal keagamaan saja seperti ibadat Minggu,
keselamatan dan sebagainya, sedang dalam kehidupan “sehari-hari” mereka
melayani “ilah-ilah palsu” dari kebudayaan sekuler yang materialistis.
Pada
jaman nabi-nabi, Allah adalah sumber dan dasar segala perkataan mereka. Dalam
hal ini, apa yang dikatakan para nabi tentang Allah sejalan dengan hukum Taurat
(Kel 22:22-24, 26-27; Ul 10:18-19). Namun, keprihatinan Allah terhadap orang
yang lemah dan yang miskin perlu diungkapkan dengan hati-hati. “Allah berpihak
pada orang miskin”. Allah tidak menutup mata terhadap dosa orang miskin,
seolah-olah kemiskinan dan penindasan membuat korban-korban menjadi tidak
bernoda dan tidak berdosa.
“Kelahiran Israel sebagai Umat” telah sekian
kali sempat kita kenangkan di dalam bab-bab sebelumnya mengenai Keluaran dari
Mesir, pembimbing di padang gurun, dan Penyataan di gunung Sion. Namun di dalam
segala hubungan tradisi tadi, umat itu baru nampak sebagai “tubuh sementara”
yang belum jelas dan lengkap bentuknya. Kita membaca tentang “orang-orang
Ibrani” (Kel 5,3) atau tentang “orang-orang Israel” (Kel 5,2), sekali juga tentang
“banyak orang dari berbagai-bagai bangsa” yang turut dengan mereka keluar dari
Mesir (Kel 12, 38). TUHAN sudah
memilih dan mengangkat mereka menjadi “umatNya” (Kel 3,7; 6,7), tetapi umat itu
seolah-olah belum dapat dikenal dari dekat, seakan-akan belum berdarah dingin,
hanya digambarkan dengan sketsa yang sederhana.
Umat
Israel sudah lahir pada waktu pembebasan dari Mesir, sudah ditahbiskan
(dikuduskan) pada waktu pernyataan di Sinai[13],
sudah dibimbing (digendong) pada waktu perjalanannya melewati padang gurun. TUHAN
mengharapkan sesuatu sebagai response atau jawaban atas kemurahanNya : hasil
yang berupa buah-buah dari pokok anggurNya, ketaatan yang suka rela dari pihak
anakNya, kasih dan setia dari umat-Nya. Dengan pemberian tanah Kanaan dengan
segala kekayaan yang ada didalamnya, dipakai TUHAN sebagai alat pendorong dan
penggerak, bukan untuk mengancam atau mamaksa, melainkan untuk “menarik mereka
supaya sadar akan panggilannya, aktif di dalam peranannya sebagai umat pilihan
TUHAN di tengah-tengah bangsa-bangsa yang lain dengan suka-rela, sebagai orang
dewasa yang bertanggungjawab sendiri! Dalam kesadaran dan kedewasaan, barulah
umat itu akan menghayati berkat TUHAN dengan sungguh-sungguh.[14]
TUHAN
memberikan pengalaman yang berbeda kepada umatNya di tanah Kanaan bukan
semata-mata sebagai bangsa pilihan Tuhan yang diberikan hak sebagai hadiah, melainkan
TUHAN memberikan ujian apakah mereka
dapat menerima warisan kebudayaan mereka di dalam kebudayaan yang berbeda di
Kanaan, begitu juga dengan agamanya. Apakah warisan kebudayaan itu dapat tetap
mereka junjung tinggi sampai keturunan-keturunan selanjutnya, sementara mereka
melihat penyembahan terhadap “baal” bahkan sampai ada “tidak bertuhan”. Akan
waspadakah umat Israel terhadap garis batas yang berbahaya itu? Jawaban itu
semua ada di tangan bangsa Israel sendiri, karena keseluruhan itu sudah menjadi
tanggungjawab mereka sendiri agar mereka dapat memahami arti dari karya
keselamatan Allah yang diberikan TUHAN kepada mereka.
F. Refleksi
etis biblis : Sikap Orang Kristen kepada Budaya
Kita tidak dapat
menerima kebudayaan kita sebagai sesuatu yang seluruhnya baik atau
setidak-tidaknya dapat ditoleransi. Kita tidak dapat pula menolak kebudayaan
itu sebagai sesuatu yang sama sekali jahat an menjijikkan. Kita harus
mempertimbangkannya untuk membedakan yang
baik dan tidak baik.
Pertama, Perjanjian
Lama menolong kita untuk melihat bahwa ada beberapa aspek dari masyarakat
manusia yang jatuh ke dalam dosa, yang harus ditolak sebagai kenjijikan
terhadap Allah. Untuk itu, orang Kristen harus menolak dan memisahkan diri
daripadanya. Bukankah kita membutuhkan kecaman Perjanjian Lama yang keras
terhadap penyembahan berhala, baik secara tersembunyi maupun terang-terangan
dalam kebudayaan kita masa kini? Orang Kristen sebagaimana orang Israel dahulu
secara tidak sadar membatasi Allah hanya pada hal-hal keagamaan saja seperti
ibadat Minggu, keselamatan dan sebagainya, sedangkan dalam kehidupan
“sehari-hari” mereka melayani “ilah-ilah palsu” dari kebudayaan sekuler yang
materialistis.
Banyak hal yang dapat
dilihat sebagai penyembahan berhala, penyelewengan, penghancuran atau kekejaman
pada masa kini. Sebagaimana Israel dahulu, gereja juga dipanggil untuk
memerangi hal-hal itu. Orang-orang Kristen hidup bekerja dan berhadapan dengan
keadaan-keadaan dan struktur-struktur yang tidak memenuhi tolok ukur Allah.
Misalnya di beberapa daerah orang Kristen masih berhadapan dengan masalah
poligami dan untuk itu dituntut suatu respons. Tentu saja etika Alkitab
memandangnya bertentangan dengan maksud Allah atas perkawinan. Dalam Perjanjian
Lama, kasus poligami dapat ditoleransi, namun disertai kritik teologis yang
radikal dan pemberitaan tentang norm-norma yang luhur. Apa yang dapat kita pelajari
dari struktur sosial Israel adalah keluarga. Tentunya bagi orang Kristen
keluarga adalah pemerian Allah yang patut didukung. Pengajaran mengenai
keluarga dapat diterapkan dalam rujukan pada keluarga dalam masyarakat umum dan
juga rujukan ke jemaat khususnya jemaat setempat sebagai keluarga atau rumah
tangga Allah.[15]
Sekali lagi kita
menemukan bahwa aspek-aspek sosial budaya dalam kehidupan Israel kuno secara
tipologis menolong kita memahami umat Allah dalam Perjanjian Baru dan kemudian
memberikan prinsip-prinsip etis yang baru dan relevan masa kini. Dalam hal ini,
hakekat sosial dan fungsi jemaat yang benar sebagai rumah tangga Allah maupun
hak-hak istimewa dan tanggungjawab setiap individu merupakan karya keselamatan
Allah melalui kebudayaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Vaux, de Roland,
1964, Studies
in Old Testament Sacrifice, Cardiff: University of Wales
Wenfieleld, Moshe,
1972, The Worsip of Molech and of The Queen of Heaven and Its Background,
UF 4
Wright,Christopher
1995, Hidup Sebagai Umat Allah (Etika Perjanjian
Lama), BPK Gunung Mulia, Jakarta
Stolz, Fritz,
1974, Interpreting
The Old Testament, SCM Press LTD, Londond
King J. Philip & Stager, E.
Lawrence
2010, Kehidupan
Orang Israel Alkitabiah, BPK Gunung Mulia, Jakarta
Vriezen,C.
2009, Agama
Israel Kuno, BPK Gunung Mulia, Jakarta
Barth, C.
2008, Theologia
Perjanjian Lama (jilid 1), BPK Gunung Mulia, Jakarta
2008, Theologia
Perjanjian Lama (jilid 2), BPK Gunung Mulia, Jakarta
[1] Roland de Vaux, Studies in Old Testament Sacrifice,
Cardiff: University of Wales 1964, Hal. 71
[2] Moshe Wenfieleld, The Worsip of Molech and of The Queen of
Heaven and Its Background, UF 4, 1972, Hal. 133
[3] Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah (Etika Perjanjian
Lama), BPK Gunung Mulia, Jakarta 1995, Hal. 180
[4] Fritz Stolz, Interpreting The Old Testament, SCM Press LTD, Londond 1974, Hal.
106
[5] Fritz Stolz, Hal. 109
[6] Fritz Stolz, Hal. 109
[7] Philip J. King & Lawrence E.
Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah,
BPK Gunung Mulia, Jakarta 2010, Hal. 409
[8] C. Vriezen, Agama Israel Kuno, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2009, Hal. 129
[9] C. Vriezen,, Hal. 129
[10] C. Vriezen, Hal. 147
[11] Christopher Wright, Hal. 152
[12] C. Vriezen, Hal. 293
[13] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama (jilid 1), BPK Gunung Mulia, Jakarta
2008, Hal. 391
[14] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama (jilid 2), BPK Gunung Mulia, Jakarta
2008, Hal. 42
[15] Christopher Wright, Hal. 195