Minggu, 15 Desember 2013

Kebudayaan Alkitab


KEBUDAYAAN DALAM KARYA PENYELAMATAN ALLAH
Banyak sekali pokok kebudayaan umum, norma-norma dan kebiasaan masyarakat yang diterima di Israel dan di bangsa-bangsa sezamannya juga. Dari segi etika timbul pertanyaan: bagaimana bangsa Israel yang unik tersebut dapat berhubungan dan berinteraksi dengan kehidupan sosial dan budaya itu? Di sini kita akan melihat masing-masing respon dalam konteks Perjanjian Lama kemudian mengemukkan beberapa petunjuk mengenai relevansinya bagi etika Kristen. 
       Pandangan Bangsa Israel Mengenai Kebudayaan Mereka Sendiri
Ada beberapa pratik kebudayaan pada masa itu yang menjijikkan di hadapan Allah dan karena itu dilarang bagi Israel. Umumnya praktik tersebut dihubungkan secara langsung atau tidak langsung dengan agama orang Kanaan. Larangannya terhadap praktik tersebut bukan hanya karena jahatnya praktik tersebut, tetapi karena Isarel dapat terjerat dalam penyembahan berhala dan ilah-ilah lain. Salain itu, dampak-dampak lain dari agama Kanaan atas masyarakat juga mendapat kecaman dari para nabi misalnya terhadap pelacuran bakti dan penyelewengan seksual lainnya. Praktik roh-roh jahat dilarang, termasuk perdukunan, ilmu sihir, pernujuman dan lain sebagainya. Yang paling ditentang adalah praktik pengorbanan anak, yang dalam Kitab Ulangan dipandang sebagai wujud yang paling buruk dari peribadatan yang “menjijikkan” itu (Ul 12:31).
Rolan de Vaux bertanya apakah pengorbanan anak sulung dipraktekkan secara teratur. Ia meragukan pembacaan harafiah dari teks Alkitab dan berpikir bahwa anak sulung itu pastilah ditebus.[1] Moshe Weinfeld berpendapat bahwa ungkapan seperti “membakar anak-anak laki-laki dan perempuan”, bisa dimaksudkan sebagai ritual inisiasi yang bukan pengorbanan, atau sebagai gambaran saja atau ungkapan hiperbola dari para nabi.[2]
Terhadap hal-hal tersebut, banyak mendapat pertentangan dari masyarakat Israel sendiri dan hal tersebut dapat terlihat dalam Keluaran 22:18; 23:24; Imamat 18:3, 21-25; 19:26,31; 20:2-6,22-23; Ulangan 12:29-31; 18:9-13, 17-18. [3] Jadi, masyarakat Isarel sangat ingin menjaga kebudayaan mereka agar terhindari dari hal-hal yang dilarang oleh Allah yang mengakibatkan mereka menerima hukuman Allah akibat pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, adat istiadat dan kebiasaan mereka dikendalikan oleh perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh mereka dan Allah. 
B.     Hubungan Kebudayaan Israel Kuno dengan Tradisi Keluaran, Sinai, dan Perjalanan di Padang Gurun
Ada beberapa perdebatan di kalangan para ahli tentang masalah hubungan “tradisi Sinai” dengan “tradisi Keluaran”. Tegasnya ada suatu kelompok ahli, termasuk Von Rad dan Martin Noth, yang berpendapat bahwa mula-mula kedua tradisi tersebut tidak ada hubungannya satu sama lain. Soal ini memang penting sekali dalam rekonstruksi sejarah agama Israel, sehingga kita perlu menyelidikinya secara lebih mendalam.
Martin Noth memulai observasinya dari daftar keduabelas suku Israel yang tampak dari beberapa tempat di Perjanjian Lama. Pusat kultus menurutnya ada dalam perjalanan bahtera Nuh dimana bergerak dari satu tempat ke tempat yang lainnya (Sikhem, Gilgal, Betel, dan Siloh) yang kemudian suku-suku tersebut mewakili juru-juru bicara dan penulis dari keduabelas suku Israel.[4] Setelah observasi yang dilakukan Noth , kemudaian diperkuat oleh penelitian VonRad sendiri.
Menurut mazhab Von Rad-Noth, tradisi Sinai mula-mula terlepas dari tradisi historis dan timbul berdasarkan motif-motif kultis (bnd. Ul 31:10). Corak perayaan pada masa raya itu pasti mempengaruhi perkembangan tradisi tentang penyataan di Sinai. Pada prinsipnya Noth mendukung pendapat yang demikian. Pendapat Noth dan Von Rad ini menarik bagi banyak ahli dan dikuatkan oleh Von Rad dengan uraiannya tentang “Kredo Historis” yang sangat kuno, yakni Ulangan 26:5b-9. Von Rad menemukan dalam beberapa pengakuan iman (kredo) dari keselamatan di dalam Ulangan 26:5 yang berisikan:
“Orang-orang Aram dulunya mengembara bersama bapa kami ke tanah Mesir dan menetap di sana; dan di sana kami menjadi bangsa yang besar, kuat, dan termasyur. Dan di sana orang-orang Mesir memperlakukan kami dengan kasar, menderita dan menjadikan kami budak. Ketika kami bersedih kepada Yahwe Tuhan bapa kami, dan Yahwe mendengar suara kami, kerja keras kami, dan penindasan yang kami derita; dan Yahwe membawa kami keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat dan lengan yang terulur; dengan kengerian yang besar; dengan tanda-tanda mengagumkan; dan Dia membawa kami ke suatu tempat dan memberikan kami tanah, tanah berlimpah susu dan madunya”.[5]
Von Rad mengaku bahwa “kredo” itu memang hanya terdapat dalam tradisi Deuteronomis. Namun, menurutnya kredo tersebut lebih kuno daripada tradisi-tradisi terkuno yang dikumpulkan dari oleh pengarang sumber Yahwis dan Elohis. Kredo tersebut menurut Von Rad disusun pada jaman awal sekali di Bait Gilgal. Kredo yang dianggap kuno itu menyebut para patriakh, keluaran, dan masuknya Israel ke tanah Kanaan, tetapi tidak menyinggung tradisi Sinai. Sehingga berdasarkan kenyataan itu, Von Rad berkesimpulan bahwa pada mulanya Sinai tidak merupakan bagian dari riwayat keluaran dan perebutan tanah Kanaan.[6]
Melihat pendapat dari Von Rad berdasarkan Ulangan 25:5b memang merupakan kredo yang kuno, tetapi justru itulah yang belum dapat dibuktikan. Corak penulisannya adalah corak khas dari Deuteronomistis. Dalam bentuknya sekarang, perikop tersebut tidak merupakan bahan kuno, bahkan tidak dapat disebut sebagai kredo, tetapi jelas merupakan suatu kata pengantar yang mengiringi persembahan buah sulung. Buah sulung ini biasanya dipersembahkan dalam perayaan mingguan, perayaan panen. Tujuannya adalah untuk menyatakan bahwa tanah dan apa yang dihasilkannya adalah milik Allah sbagai pencipta. Buah sulung itu merupakan simbol rasa syukur dan ketergantungan si pemberi kepada Yahweh; pada saat yang sama, buah sulung itu dianggap sebagai jaminan hasil panen di masa yang akan datang.[7]
Dalam persembahan itu si penyebah mengagungkan Yahweh sebagai Pemberi segala kebaikan, sebagai Pemberi tanah dengan segala penghasilannya. Singkatnya, tidak ada alasan untuk menganggap Ulangan 26:5b dan seterusnya sebagai suatu kredo kuno yang berasal dari Bait Gilgal. Tidak dapat dibenarkan kalau ayat-ayat tersebut dianggap sebagai ringkasan atas seluruh sejarah Israel, dari keluaran sampai perebutan tanah Kanaan. Dengan kata lain, perikop tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat untuk mengadakan analisis historis yang memisahkan tradisi-tradisi kuno yang termuat dalam sumber Yahweis dan Elohis.[8]
Berdasarkan beberapa bahan-bahan yang dikumpulkan tentang hubungan kesatuan tradisi, seluk-beluk keluaran, Sinai dan perjalanan di gurun disimpulkan bahwa kemungkinan besar tradisi Sinai merupakan bagian integral dari tradisi padang gurun. Pandangan alternatif bahwa tradisi padang gurun dan tradisi Sinai memang berasal dari periode yang sama dan timbul dalam lingkungan yang sama. Dapat dikatakan bahwa tradisi Sinai, yang menonjolkan gunung Allah dan penyataan Yahweh di atas gunung tersebut merupakan unsur mutlak dalam tradisi-tradisi dasar yang menjadi landasan kitab Keluaran. Nabi-nabi awal (yang terdahulu) juga (mis. Hosea) mengaitkan Keluaran dan Sinai (Hos 2; 4:2; 8:1,13; 13:4). Pembebasan dari Mesir mencapai puncaknya dalam Keluaran 19. Jadi, hubungan yang erat antara “riwayat Sinai Yahweh”, “riwayat Pembebasan dari Mesir”, “Perjalanan di gurun” dan “Perebutan tanah Kanaan” dapat diterima sebagai satu kesatuan tradisi[9] dan juga sebagai karya keselamatan Allah.
Israel menjadi percaya kepada Yahweh di padang gurun dan bukan dalam periode kemudian. Sebagai catatan bahwa batapa hangatnya ketegangan yang timbul antara agama Israel dengan agama Kanaan. Suku-suku Israel sebelumnya berjalan di gurun dan kemudian masuk ke tanah Kanaan, sekiranya mereka tidak mempunyai pokok kepercayaan yang kuat, pastilah tak mungkin mempertahankan dan mengembangkan agama Israel sampai mencapai ciri khas yang begitu kuat berhadapan dan bertentangan dengan agama Kanaan. Sudah tentu unsur-unsur agama Mesir, atau agama gurun, akan melebur dengan konteks dan adat istiadat Kanaan. 
C.     Hubungan antara Unsur Keagamaan dengan Hukum Dasa Titah.
Selanjutnya, ikatan antara Yahweh dengan Israel pasti menuntut adanya seorang pengantara. Musa dinilai sebagai oknum karismatis yang memang aktif sebagai pengantara antara Yahweh dengan umat. Hubungan dengan Yahweh bukanlah menjadi titik awal, melainkan menjadi puncak dari riwayat pembebasan Israel. Unsur keagamaan yang diwariskan Musa adalah Dasa Titah. Dasa Titah, para ahli masa kini pada umumnya berkesimpulan bahwa kedua unsur ini sebaiknya dikaitkan dengan periode padang gurun. Dengan kata lain, Dasa Titah itu mengandung unsur-unsur yang justru merupakan dasar untuk seluruh hukum pidana Israel. Bilamana dalam hukum Israel ada hukuman mati dituntut atas pelanggaran peraturan-peraturan tertentu, maka biasanya tuntutan yang ekstrem itu berkenaan dengan pelanggaran norma-norma yang digariskan dalam Dasa Titah etis (Kel 20; Ul.5). Dengan kata lain, Dasa Titah itu mengandung unsur-unsur yang justru merupakan dasar untuk seluruh hukum pidana.[10]
Menurut cerita di Sinai, Dasa Titah diberikan oleh Tuhan Allah kepada Israel (Kel 20:2-17). Meskipun Musa menjadi perantara, namun perannya dalam pemberitaan Dasa Titah adalah minimal. Dasa titah merupakan ringkasan yang sederhana tetapi menyeluruh tentang ketentuan-ketentuan hakiki hubungan perjanjian dan membatasi tingkah laku yang sesuai dengan keanggotaan umat Allah. Dengnan kata lain, Dasa Titah adalah kebijaksanaan yang menentukan etos dan arah dari semua undang-undang terinci lainnya.[11]
Sebagai kesimpulan dikatakan bahwa memang tak mungkin menentukan soal asal mula Dasa Titah; tetapi usul yang paling meyakinkan ialah bahwa Dasa Titah itu merupakan ringkasan prinsip-prinsip hukum yang paling awal, yang dimaksudkan memberi arah pada kehidupan masyarakat dalam semua hubungan internnya baik bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan.
D.    Hubungan Agama dan Kebudayaan
Banyak orang Yahudi ingin turut serta dalam perkembangan-perkembangan kebudayaan yang terjadi pada jaman itu, dan tidak mau diikat dengan larangan-larangan dan kebiasaan-kebiasaan kuno. Kebudayaan dan agama begitu erat hubungannya, sehingga orang Yahudi tidak mungkin mengambil kebudayaan dan menolak agama, atau sebaliknya. Misalnya peraturan-peraturan mengenai makanan haram dan halal, mengadakan pemisahan antara orang Yahudi dengan non-Yahudi. Peraturan-peraturan seperti itu tidak dapat dipatuhi secara penuh jika orang Yahudi sudah menerima kebudayaan Hellenisme. Itu berarti bahwa dengan mengambil alih kebudayaan tersebut, Torah dikesampingkan dan dengan demikian agama Yahudi ditolak, karena pada waktu itu “kepercayaan” dan ketaatan kepada Torah sudah hampir-hampir menjadi identik (hidup di bawah kekuasaan Torah).[12]
Torah sudah menjadi kanon pada zaman Ezra atau tidak lama kemudian, sehingga kaum Yahudi meyakini bahwa Torah tersebut merupakan penyataan Yahweh dalam bentuk tertulis. Mulai saat itu tidak satupun dalam Torah yang boleh ditambahkan, diubah, atau dikurangi, karena kitab itu dengan sendirinya merupakan firman Allah yang mutlak dan utuh. Orang terdorong mentaati Torah terutama karena rasa takut bahwa Allah akan menghukum individu maupun masyarakat kalau mereka melanggar. Jadi, ketaatan kepada seluk-beluk Torah menjadi norma kehidupan di Israel. Tiap aspek hidup keagamaan dan kemasyarakatan Israel dijaga ketat, supaya jangan ada unsur baru, jangan ada unsur non-Yahudi yang masuk kedalamnya. Tidak dapat disangkal bahwa ketaatan pada Torah yang begitu ketat itu membantu menyelamatkan dan mengawetkan masyarakat Yerusalem.
E.      Pandangan Teologi Tentang Budaya
Perjanjian Lama menolong kita untuk melihat bahwa ada beberapa aspek dari masyarakat yang jatuh ke dalam dosa, yang harus ditolak sebagai kekejian bagi Allah. Perjanjian Lama juga memisahkan diri daripadanya dan memberikan petunjuk mengenai ciri-cirinya. Secara umum dapat dikatakan bahwa ada empat hal yang secara teologisnya dilarang keras bagi Israel, yakni : penyembahan berhala, penyewengan dari yang wajar, perbuatan yang menghancurkan manusia dan kekejaman terhadap orang miskin. Orang Kristen sebagaiamana Israel dulu secara tidak sadar sering membatasi Allah hanya pada hal-hal keagamaan saja seperti ibadat Minggu, keselamatan dan sebagainya, sedang dalam kehidupan “sehari-hari” mereka melayani “ilah-ilah palsu” dari kebudayaan sekuler yang materialistis.
Pada jaman nabi-nabi, Allah adalah sumber dan dasar segala perkataan mereka. Dalam hal ini, apa yang dikatakan para nabi tentang Allah sejalan dengan hukum Taurat (Kel 22:22-24, 26-27; Ul 10:18-19). Namun, keprihatinan Allah terhadap orang yang lemah dan yang miskin perlu diungkapkan dengan hati-hati. “Allah berpihak pada orang miskin”. Allah tidak menutup mata terhadap dosa orang miskin, seolah-olah kemiskinan dan penindasan membuat korban-korban menjadi tidak bernoda dan tidak berdosa.
 “Kelahiran Israel sebagai Umat” telah sekian kali sempat kita kenangkan di dalam bab-bab sebelumnya mengenai Keluaran dari Mesir, pembimbing di padang gurun, dan Penyataan di gunung Sion. Namun di dalam segala hubungan tradisi tadi, umat itu baru nampak sebagai “tubuh sementara” yang belum jelas dan lengkap bentuknya. Kita membaca tentang “orang-orang Ibrani” (Kel 5,3) atau tentang “orang-orang Israel” (Kel 5,2), sekali juga tentang “banyak orang dari berbagai-bagai bangsa” yang turut dengan mereka keluar dari Mesir (Kel 12, 38). TUHAN sudah memilih dan mengangkat mereka menjadi “umatNya” (Kel 3,7; 6,7), tetapi umat itu seolah-olah belum dapat dikenal dari dekat, seakan-akan belum berdarah dingin, hanya digambarkan dengan sketsa yang sederhana.
Umat Israel sudah lahir pada waktu pembebasan dari Mesir, sudah ditahbiskan (dikuduskan) pada waktu pernyataan di Sinai[13], sudah dibimbing (digendong) pada waktu perjalanannya melewati padang gurun. TUHAN mengharapkan sesuatu sebagai response atau jawaban atas kemurahanNya : hasil yang berupa buah-buah dari pokok anggurNya, ketaatan yang suka rela dari pihak anakNya, kasih dan setia dari umat-Nya. Dengan pemberian tanah Kanaan dengan segala kekayaan yang ada didalamnya, dipakai TUHAN sebagai alat pendorong dan penggerak, bukan untuk mengancam atau mamaksa, melainkan untuk “menarik mereka supaya sadar akan panggilannya, aktif di dalam peranannya sebagai umat pilihan TUHAN di tengah-tengah bangsa-bangsa yang lain dengan suka-rela, sebagai orang dewasa yang bertanggungjawab sendiri! Dalam kesadaran dan kedewasaan, barulah umat itu akan menghayati berkat TUHAN dengan sungguh-sungguh.[14]
TUHAN memberikan pengalaman yang berbeda kepada umatNya di tanah Kanaan bukan semata-mata sebagai bangsa pilihan Tuhan yang diberikan hak sebagai hadiah, melainkan  TUHAN memberikan ujian apakah mereka dapat menerima warisan kebudayaan mereka di dalam kebudayaan yang berbeda di Kanaan, begitu juga dengan agamanya. Apakah warisan kebudayaan itu dapat tetap mereka junjung tinggi sampai keturunan-keturunan selanjutnya, sementara mereka melihat penyembahan terhadap “baal” bahkan sampai ada “tidak bertuhan”. Akan waspadakah umat Israel terhadap garis batas yang berbahaya itu? Jawaban itu semua ada di tangan bangsa Israel sendiri, karena keseluruhan itu sudah menjadi tanggungjawab mereka sendiri agar mereka dapat memahami arti dari karya keselamatan Allah yang diberikan TUHAN kepada mereka.
F.     Refleksi etis biblis : Sikap Orang Kristen kepada Budaya
Kita tidak dapat menerima kebudayaan kita sebagai sesuatu yang seluruhnya baik atau setidak-tidaknya dapat ditoleransi. Kita tidak dapat pula menolak kebudayaan itu sebagai sesuatu yang sama sekali jahat an menjijikkan. Kita harus mempertimbangkannya untuk membedakan yang  baik dan tidak baik.
Pertama, Perjanjian Lama menolong kita untuk melihat bahwa ada beberapa aspek dari masyarakat manusia yang jatuh ke dalam dosa, yang harus ditolak sebagai kenjijikan terhadap Allah. Untuk itu, orang Kristen harus menolak dan memisahkan diri daripadanya. Bukankah kita membutuhkan kecaman Perjanjian Lama yang keras terhadap penyembahan berhala, baik secara tersembunyi maupun terang-terangan dalam kebudayaan kita masa kini? Orang Kristen sebagaimana orang Israel dahulu secara tidak sadar membatasi Allah hanya pada hal-hal keagamaan saja seperti ibadat Minggu, keselamatan dan sebagainya, sedangkan dalam kehidupan “sehari-hari” mereka melayani “ilah-ilah palsu” dari kebudayaan sekuler yang materialistis.
Banyak hal yang dapat dilihat sebagai penyembahan berhala, penyelewengan, penghancuran atau kekejaman pada masa kini. Sebagaimana Israel dahulu, gereja juga dipanggil untuk memerangi hal-hal itu. Orang-orang Kristen hidup bekerja dan berhadapan dengan keadaan-keadaan dan struktur-struktur yang tidak memenuhi tolok ukur Allah. Misalnya di beberapa daerah orang Kristen masih berhadapan dengan masalah poligami dan untuk itu dituntut suatu respons. Tentu saja etika Alkitab memandangnya bertentangan dengan maksud Allah atas perkawinan. Dalam Perjanjian Lama, kasus poligami dapat ditoleransi, namun disertai kritik teologis yang radikal dan pemberitaan tentang norm-norma yang luhur. Apa yang dapat kita pelajari dari struktur sosial Israel adalah keluarga. Tentunya bagi orang Kristen keluarga adalah pemerian Allah yang patut didukung. Pengajaran mengenai keluarga dapat diterapkan dalam rujukan pada keluarga dalam masyarakat umum dan juga rujukan ke jemaat khususnya jemaat setempat sebagai keluarga atau rumah tangga Allah.[15]
Sekali lagi kita menemukan bahwa aspek-aspek sosial budaya dalam kehidupan Israel kuno secara tipologis menolong kita memahami umat Allah dalam Perjanjian Baru dan kemudian memberikan prinsip-prinsip etis yang baru dan relevan masa kini. Dalam hal ini, hakekat sosial dan fungsi jemaat yang benar sebagai rumah tangga Allah maupun hak-hak istimewa dan tanggungjawab setiap individu merupakan karya keselamatan Allah melalui kebudayaan.

DAFTAR PUSTAKA
Vaux, de Roland,
1964,   Studies in Old Testament Sacrifice, Cardiff: University of Wales
Wenfieleld, Moshe,
1972, The Worsip of Molech and of The Queen of Heaven and Its Background, UF 4
Wright,Christopher
 1995,  Hidup Sebagai Umat Allah (Etika Perjanjian Lama), BPK Gunung Mulia, Jakarta
Stolz, Fritz,
1974,   Interpreting The Old Testament, SCM Press LTD, Londond
King J. Philip & Stager, E. Lawrence
2010,   Kehidupan Orang Israel Alkitabiah, BPK Gunung Mulia, Jakarta
Vriezen,C.
2009,   Agama Israel Kuno, BPK Gunung Mulia, Jakarta
Barth, C.
2008,   Theologia Perjanjian Lama (jilid 1), BPK Gunung Mulia, Jakarta
2008,   Theologia Perjanjian Lama (jilid 2), BPK Gunung Mulia, Jakarta


[1] Roland de Vaux, Studies in Old Testament Sacrifice, Cardiff: University of Wales 1964, Hal. 71
[2] Moshe Wenfieleld, The Worsip of Molech and of The Queen of Heaven and Its Background, UF 4, 1972, Hal. 133
[3] Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah (Etika Perjanjian Lama), BPK Gunung Mulia, Jakarta 1995, Hal. 180
[4] Fritz Stolz, Interpreting The Old Testament, SCM Press LTD, Londond 1974, Hal. 106
[5] Fritz Stolz, Hal. 109
[6] Fritz Stolz, Hal. 109
[7] Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2010, Hal. 409
[8] C. Vriezen, Agama Israel Kuno, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2009, Hal. 129
[9] C. Vriezen,, Hal. 129
[10] C. Vriezen, Hal. 147
[11] Christopher Wright, Hal. 152
[12] C. Vriezen, Hal. 293
[13] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama (jilid 1), BPK Gunung Mulia, Jakarta 2008, Hal. 391
[14] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama (jilid 2), BPK Gunung Mulia, Jakarta 2008, Hal. 42
[15] Christopher Wright, Hal. 195

Tinjauan Buku "Pemberita Firman Pecinta Budaya"



Tinjauan Buku “PEMBERITA FIRMAN PECINTA BUDAYA, Mendengar dan Melihat Karya Allah dalam Tradisi”, Eben Nuban Timo, PT. BPK Gunung Mulia, Jl. Kwitang 22-23, Jakarta, 159 halaman; 21 cm.
Seiring berjalannya waktu dan semakin berkembangnya zaman, Theologi juga semakin berkembang mulai dari penyataan Allah (firman Allah) sampai kepada pengalaman manusia (budaya), sehingga banyak terlahir teolog-teolog dengan Theologi-theologi-nya yang kita kenal sampai saat ini. Mereka berpendapat bahwa sebelum Alkitab dianggap sebagai sumber dalam memahami karya Allah, kebudayaan dan tradisi sudah ada dan dianut oleh para leluhur dari jaman dahulu sampai saat ini. Hal ini terlihat dari adanya tradisi-tradisi dan kebudayaan-kebudayaan yang masih berlaku sekarang yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang lain. Salah satu kebudayaan dan tradisi dalam bukunya “Pemberita Firman Pecinta Budaya” Eben Nuban Timo membahas kebudayaan masyarakat Timor dan makna teologisnya bagi konteks masa kini.
Dalam tulisannya tersebut, Eben ingin menyatakan bahwa di dalam seluruh tradisi orang Timor tidak semuanya baik dan benar. Masih banyak unsur kejahatan dan dosa didalamnya. Tetapi masih ada pula yang dianggap baik dan mulia. Masih ada nilai-nilai yang terbukti mampu menjaga keharmonisan hidup masyarakat. Bagi Eben yang perlu untuk dilakukan adalah mengenali Allah dan pekerjaan-Nya dalam budaya, bukan menggantikan budaya secara menyeluruh. Ia berpendapat bahwa tidaklah perlu membuang tradisi, tetapi memperbaharuinya. Dalam hal ini, Eben adalah orang yang sangat menghargai tradisi warisan nenek moyang.
Salah satu contoh penafsiran dan sudah membudaya dari masyarakat Timor yaitu tentang Perumpamaan Penabur (Matius 13:32-39), di mana pembaca diperhadapkan kepada konteks pulau Timor yang selalu dianggap kering dan berbatu-batu. Arti perumpamaan ini sangat kontekstual dengan alam dan tanah di Timor. Dari faktor tanah ini mengakibatkan lahirnya sebuah mitos yang mengatakan tanah Timor adalah pulau di balik kubur.
Setelah seorang penginjil bernama Piter Middelkoop datang ke daerah Timor dan melakukan sebuah penelitian tentang tanah di Timor. Ternyata bukan tanah yang tidak baik, tetapi orang-orang Timor sendiri yang tidak mau (malas) untuk mengolah tanah tersebut. Jadi penafsiran yang melahirkan mitos tersebut adalah berbicara tentang cara penabur dalam menabur benih, bukan di mana tempat benih itu akan ditabur (tanah). Tanah di sini tidak perlu digantih, tetapi cara kerja penaburlah (pendeta) yang harus ditingkatkan. Tanah dan budaya tidak bersalah. Manusialah yang harus menemukan jalan-jalan yang lebih utama lagi untuk mengolah dan mengusahakan potensi tanah tersebut.
Berbicara tentang mitos tersebut, kemungkinan besar mitos inilah yang menjadi faktor penghalang pekabaran Injil di Timor tidak diminati (ditakuti) oleh hamba-hamba Tuhan dan para misiolog. Sama halnya dengan pengalaman saya sewaktu pelayanan PKL di salah satu desa di Kalimantan Barat, tepatnya di desa Merah Arai. Desa tersebut adalah salah satu desa yang dihuni oleh masyarakat suku Dayak Kebahan yang sangat menjunjung tinggi tradisi mereka. Kurangnya pelayan ataupun hamba Tuhan ke daerah ini kemungkinan besar sama halnya dengan cerita di Timor, yaitu sebuah ketakutan. Ada pula ketakutan di mana masih banyaknya tradisi yang bersifat penyembahan, memakai jimat-jimat, dan membaca mantra-mantra. Selain itu juga adanya mitos suku Dayak primitif yang masih menganut kepercayaan Kanibalisme (makan daging manusia).
Berbicara tentang budaya dan Kristus, Eben berpendapat bahwa tugas kita sebagai penafsir kontekstual lebih baik berusaha menemukan Kristus yang sudah aktif dalam budaya-budaya, dari pada membawa Kristus masuk ke dalam budaya tersebut.  Saya sangat setuju dengan pendapat tersebut bahwa di dalam budaya tersebut juga terkandung makna teologis dari Allah. Semua tradisi dan kebudayaan yang ada di dunia ini tidak seluruhnya harus dipandang negatif, walaupun ada sebahagian besar bersifat magis atau penyembahan berhala.
Saya sendiri selaku orang yang terlahir dalam komunitas suku batak Karo telah banyak melihat suku batak Karo dalam pergaulan hidupnya diatur oleh budaya Karo (adat Karo), baik upacara perkawinan, penguburan, adat untuk anak, remaja, orang tua, pembuatan rumah adat memasuki rumah baru, adat dalam memperoleh tanah atau warisan, dan lain sebagainya. Selain ada perbedaan kebudayaan tetapi banyak juga persamaan antara kebudayaan Karo dengan Timor. Salah satu persamaannya adalah dari pengucapan syukur yang dilakukan dengan bentuk pesta atas hasil panen yang telah diterima. Bentuk pengucapan syukur ini adalah sebagai bentuk ucapan syukur masyarakat Karo (pesta tahun) atas pemberian dan penyertaan Tuhan (Dibata). Setiap desa berbeda-beda tanggal penyelenggaraan pesta tahun ini agar setiap desa atau tempat dapat saling mengunjungi, berbagi hasil, dan bergembira bersama dalam memupuk rasa kebersamaan dan kekeluargaan. Hal ini sangat dianggap baik dan positif sehingga masih berlaku di desa tanah Karo (kuta Karo) sampai sekarang.
Dari persamaan pemaknaan tradisi kebudayaan Timor dan Karo, ada juga perbedaan antara kedua tradisi ini. Perbedaan tersebut adalah mengenai cara, bentuk, dan pemaknaan tradisi tersebut. Salah satu contoh dari pemaknaan masyarakat Timor yang memberikan penghormatan kepada beras atau nasi sampai sampai apabila nasi yang terjatuh merupakan penghinaan kepada roh nasi tersebut. Dalam masyarakat Karo, beras dianggap pemersatu dalam keluarga (beras meciho) dan dibuang atau ditabur-taburkan ke atas kepala.
Sama halnya dengan pesta-pesta adat yang diiringi oleh gendang yang dinamakan gendang pengalo-ngalo begu oleh masyarakat Karo. Pemaknaan yang lama itu harus diubah bukan gendang tersebut yang dihilangkan. Pemaknaan tersebutlah yang harus dirubah adalah tentang kepercayaan kepada roh-roh halus digantih dengan rasa pengucapan syukur, musik pengiring pesta, dan lain sebagainya. Jadi, setiap kebudayaan itu bukanlah untuk dihilangkan melainkan untuk dirubah pemaknaannya.  
Untuk menghasilkan teologi yang kontekstual, yakni membuat pemberitaan firman menjadi alat yang efektif untuk membuat manusia hidup dalam situasi konkret dalam ketaatan kepada Allah, dan hidup dari anugerah, maka pengalaman-pengalam pendengar firman itu harus pula diperhatikan. Pengalaman-pengalaman, nyanyian-nyanyian, dongeng-dongen, air mata dan penderitaan harus dikaitkan dengan teologi Alkitabah. Jika kita melihat dari segi persembahan, ada suatu kebudayaan setempat yang belum bisa memberikan persembahan berupa materi atau uang tetapi hasil buah-buahan dan sayur-sayuran. Apakah hal tersebut harus diubah? Tentulah tidak mungkin.
Seorang tokoh ternama F.D. Schleirmacher berpendapat bahwa perasaan religius adalah hal yang terutama dan teologi bersifat derivatif. Ia harus secara konstan diperbaharui sesuai perubahan-perubahan di dalam komunitas Kristen. Baginya, tradisi perlu dikarenakan ia adalah pengalaman komunitas Kristen pada masa lalu yang kontenporer dan perlu diuji dengan pengalaman Kristen pada masa kini. Jadi dapat disimpulkan bahwa bagi Schleirmacher ada unsur-unsur tradisi teologi, kebudayaan kontenporer, dan pengalaman religius di dalam berteologi.
Kesimpulan dari keseluruhan pembahasan tentang Theologi dan kebudayaan adalah sesuatu yang dianggap perlu dan bukan untuk dihilangkan. Yang perlu adalah diperbaharui secara pemaknaannya agar tradisi-tradisi atau kebudayaan-kebudayaa yang bersifat mistis (kepercayaan kepada roh-roh) tersebut berubah menjadi karya Allah yang bekerja dalam kebudayaan tersebut, agar manusia yang berbudaya tersebut mempermuliakan nama Tuhan saja.

REKONSTRUKSI TRADISI BATAK DALAM GEREJA



PENGANGKATAN TULANG-TULANG LELUHUR YANG TELAH MENINGGAL DALAM ADAT BATAK SEBAGAI SUATU REKONSTRUKSI DALAM TRADISI GEREJA MASA KINI
Dilihat dari segi kekristenan, ada juga beberapa pandangan yang mengakibatkan “kebudayaan” atau dikenal dengan kata “adat” berlawanan dengan Injil. Hal ini disebutkan dengan “adat yang bertentangan dengan Injil”. Verkuyl menulis bahwa kata “adat” berasal dari bahasa Arab “ada” yang berarti cara yang telah lazim atau kebiasaan yang terjadi pada masyarakat.[1] Begitulah yang sedang terjadi di beberapa kalangan orang Kristen mengenai kebiasaan yang sudah masuk dalam kebudayaan saat ini. Ada yang dipandang baik dan ada pula dipandang sebagai pemujaan terhadap leluhur.
Yang harus dimengerti antara kedua bentuk yang berbeda ini dari kepercayaan dan praktik berkenaan dengan leluhur, yang oleh beberapa orang sering dicampuradukkan. Pemujaan leluhur dapat dirumuskan sebagai suatu kumpulan sikap, kepercayaan dan praktik berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan. Akan tetapi ada banyak kasus di mana orang mati tidak diilahikan, melainkan dianggap sebagai mahluk-mahluk berkuasa yang kebutuhannya harus dipenuhi. Dengan membedakan penghormatan kepada leluhur dari pemujaan kepada leluhur, dengan anggapan seolah mereka adalah dewa-dewa, kita membatasi pemakaian istilah pemujaan terhadap leluhur hanya dalam arti kedua.[2] Hal inilah yang akan dibicarakan dalam tulisan ini mengenai salah satu kebudayaan yang dianggap sebagai pemujaan terhadap leluhur.
Di Sumatera Utara orang-orang Kristen menggali kuburan-kuburan tanah yang sementara. Sesudah lewat waktu pembusuan yang dianggap perlu, lalu diangkatlah tulang-tulang itu dan ditempatkan di dalam suatu kuburan semen dengan pelaksanaan upacara tertentu. Mereka lalu mendirikan patung-patung buat nenek moyang mereka kemudian menempatkan tulang-tulang mereka di dasar tugu itu. Hal ini menjadi telah menjadi membudaya di kalangan orang-orang Batak pada umumnya dan masih berkembang sampai saat ini terkhusus di daerah Sumatera Utara sampai saat ini. Menurut pengakuan mereka, tradisi tersebut hanyalah untuk menjaga tradisi suku saja. Tapi dalam percakapan dengan orang Batak dimana mereka mengatakan bahwa ada sejumlah orang Kristen yang melakukan sesajian kepada nenek moyang secara sembunyi-sembunyi, dikarenakan dilarang oleh gereja.
Pembangunan kubur dan tugu yang bernuansa religius tersebut juga telah menjadi suatu sifat ingin memperlihatkan kegengsian antar keluarga. Pembangunan tugu dan kuburan yang mewah-mewah pada umumnya dibiayai oleh keluarga yang sudah kaya atau sukses. Hal ini menjadi suatu fenomena yang berkembang di kalangan orang-orang Batak sampai saat ini.
Secara teoritis penghormatan atas orang mati, upacara untuk orang mati, dan pemakaman orang mati berada di satu pihak, dan upacara tersebut harus dibedakan dari pemujaan nenek moyang. Tidak semua orang mati yang dipuja sebagai bapa leluhur, tapi bapa leluhur yang mempunyai kekuasaan dan mempunyai pengaruh yang istimewa berdasarkan kedudukan, kekayaan, dan jabatan mereka di bumi.[3]
Upacara penggalian tulang-tulang terus dijalankan oleh orang-orang Kristen. Pemakanam kembali atau pemakaman secara meriah atau kelompok-kelompok tidak dilaksanakan bagi semua orang mati, hanya bagi begu yang sudah menjadi sumangot (roh nenek moyang yang dipuja). Tulang-tulang bapa leluhur yang dipilih untuk dipindahkan itu dimakamkan kembali dalam kuburan semen atau di ruang suatu patung nenek moyang. Pemindahan itu dilaksanakan dengan upacara perayaan yang besar yang disebut dengan “pesta-turun. Perayaan ini adalah perayaan terhormat dan paling banyak memakan biaya.[4]
Tujuan pemberian sesajian kepada begu adalah agar begu itu tidak marah dan melakukan tindakan kejahatan terhadap keluarganya. Orang Batak percaya bahwa begu itu dapat membantu, menghibur, mengingatkan, dan memberi petuah kepada keluarganya. Tetapi mereka juga dapat bertndak sebaliknya yaitu membawa bahaya, kesusahan, bencana, penyakit dan bahkan kematian. Selain secara mistis, ada pula tujuan lain dari orang Batak melakukan pembangunan tugu dan penggalian tulang-belulang. Melalui ini, orang Batak juga ingin mencoba mencegah berseraknya dan runtuhnya kelompok mereka. Pengaruh dari pembangunan tugu dan penggalian tulang-belulang ini menjamin kesatuan geologis dan memperlihatkan kebesaran keturunan demi masa depan anak cucu mereka kelak.[5]
Pandangan Gereja Terhadap Tradisi Pengangkatan Tulang-tulang Leluhur
Mengenai apa sebenarnya esensi dan makna pengangkatan tulang-tulang leluhur ini menjadi permasalahan bukan hanya di kalangan Kristen, tetapi juga di kalangan masyarakat secara umum. Screiner pernah menulis dalam bukunya yang ditulis pada tahun 1978, “Orang dapat berkata bahwa pemujaan nenek moyang datang kembali. Dalam pergaulan, orang-orang Kristen percaya bahwa orang yang mati dan bapa-bapa leluhurnya itu dapat menyatakan diri sebagai asal mula dan pendorong adat. Itulah sebabnya pengaruh kepercayaan itu terus menerus malahan menjadi seuatu permasalahan inti buat gereja-gereja di Indonesia.”[6]
Nampaknya gereja berupaya melakukan kontekstualisasi dengan mengangkat praktek-praktek warisan kepercayaan tradisional itu dan memberinya makna baru. Sehingga sangat ditekankan bahwa pembangunan tugu, pemindahan tulang-belulang dan hal lainnya, yang bersangkut-paut dengan upacara kematian adalah sekedar sebagai penghormatan para leluhur saja. Akhirnya banyak diantara orang-orang suku Batak yang masih melakukan hal-hal tersebut tetapi bentuk sesajian-sesajian mulai dihilangkan dikarenakan alasan pemujaan dari pemaparan yang dijelaskan gereja. Tetapi masih ada sebagian yang melakukan sesajian-sesajian tersebut secara diam-diam karena mereka masih meyakini pengaruh nenek moyang (sumber berkat) terhadap kehidupan mereka.
Dalam gereja sendiri, ada dua acara yang berkaitan dengan orang yang telah mati. Yang pertama adalah “Pesta Paskah”. Pesta Paskah ini dilaksanakan di seluruh acara gereja. Di gereja HKBP mengadakan kebaktian di kuburan dan banyak jemaat ikut melaksanakan kebaktian ini. Tujuan kebaktian ini adalah untuk menanamkan pengajaran tentang iman kebangkitan dalam hati jemaat. Pada umumnya, penekanan firman yang disampaikan adalah tentang kebangkitan Yesus dan kebangkitan orang Kristen.[7] Pelaksanaan ini merupakan suatu usaha kontekstualisasi yang dilakukan gereja, dan hal ini dipandang positif dikarenakan dalam acara ini unsur penyembahan berhalanya dihilangkan, dan bahkan dalam acara ini dapat diajarkan pengharapan iman kebangkitan orang Kristen.
Selain Paskah, perayaan yang lainnya adalah “Minggu Peringatan Orang Mati”. HKBP menjadikan minggu terakhir pada kalender gereja sebagai “Minggu Peringatan Orang Mati”. Pada hari Minggu tersebut diadakan kebaktian khusus di gerejabagi keluarga yang ditinggalkan oleh almarhum. Melalui dua upacara inilah gereja HKBP cukup inisiatif, walaupun masih ada sebahagian yang belum puas dan datang pagi-pagi ke kubur untuk memberikan sesajian pada nenek moyang mereka. Usaha ini adalah salah satu usaha kontekstualisasi yang dilakukan oleh gereja HKBP.
Pandangan Alkitab Terhadap Tradisi Penggangkatan Tulang-belulang Leluhur.
Dalam Alkitab istilah “Leluhur atau nenek moyang” sering digunakan. Tetapi tidak ada suatu ungkapan bahwa nenek moyang harus menjadi sasaran penyembahan atau harus disembah. Konsep tentang kematian dan konsep tentang kebangkitan inilah yang menyebabkan orang Kristen percaya bahwa ritual pengangkatan tulang-belulang leluhur juga termasuk dalam sesuatu tradisi yang ada dalam Alkitab. Menurut Paulus, kematian bukan suatu titik akhir dalam kehidupan manusia. Paulus berpikir bahwa hari kematian adalah hari yang mengakhiri perjuangan di dunia dan hari untuk menerima mahkota kebenaran (2 Tim 4:7-8).
Keadaan jiwa ketika mati menjadi pokok diskusi yang sering muncul di kalangan para teolog-teolog. Banyak teolog yang menganggap bahwa ada unsur yang kekal pada manusia, yang tidak dapat mati ketika manusia itu mati. Dalam Kejadian 2:7 dikatakan bahwa “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup (nisymat hayyim) ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi mahluk yang hidup (nefesy hayah)”. Yang menjadi pokok masalah dalam ayat tersebut adalah apakah Tuhan Allah menghembuskan nafas hidup ke dalam hidung mansia dengan menghembuskan “nafas-Nya” ke dalam manusia? Jika Allah benar menghembuskan “nafas-Nya” ke dalam manusia, maka manusia menjadi mahluk yang hidup di dalam dirinya adalah zat Allah, zat ilahi atau jiwa ilahi.[8] Hal inilah yang dipahami kebanyakan orang sehingga anggapan ini disalah artikan.
Menurut pandangan kepercayaan orang Kristen yang Alkitabiah, Yesus sendiri mengalami kematian secara fisik dan jiwa, maka Ia dianggap sebagai pengantara bagi keselamatan orang-orang Kristen dalam gereja mula-mula. Melalui kematianNya, maka Ia dapat mengatasi kematian. Jika orang ingin mengatasi kematian, maka ia harus sungguh-sungguh mati. Bukan sekadar hidup sebagai jiwa yang immortal, melainkan mengalami kehilangan kehidupannya. Untuk mengerti kepercayaan tentang kebngkitan, kita harus membuang konsep Yunani yang berpendapat bahwa unsur materi dan jasmani adalah jahat sehingga harus dihancirkan, dan kemayian tubuh tidak menjadi kehancuran kehidupan. Alkitab tidak membedakan kematian dan kehidupan diantara jiwa dan tubuh. Yang dikuasai oleh kebngkitan bukanlah tubuh, melainkan kematian.[9]
Dalam Alkitab memang terdapat kata : tubuh/daging, jiwa dan roh, namun bukan merupakan tiga unsur yang dimiliki oleh manusia tetapi kata-kata itu menyatakan keseluruhan/keutuhan manusia yang menggambarkan apa manusia itu. Apabila kita menyimak arti dan maksud kata tubuh/daging, jiwa dan roh maka kesemuanya menunjuk pada keberadaan manusia secara utuh. Jika demikian maka apabila seseorang meninggall dunia maka manusia seantero yang meninggal dan bukan hanya salah satu unsur yang ada pada manusia itu.[10] Imago Dei bukan unsur rasio manusia atau jiwa manusia yang tidak dipunyai oleh binatang-binatang. Penciptaan manusia menurut gambar dan rupa Allah sangat berharga bagi manusia. Arti Imago Dei adalah bahwa manusia adalah suatu eksisitensi untuk eksistensi yang lain.[11] Jadi Imago Dei itu bukanlah unsur yang tetap yang diberikan secara kekal, dan bukan pula substantia. Imago Dei adalah suatu harapan eskatologis yang harus seslalu ditunjukkan oleh manusia. Itu bukan milik manusia, melainkan tugas yang harus dilaksanakan mansuai. Konsep keadaan orang Kristen dalam paparan Paulus adalah tetap dikuasai oleh kasih Kristus dan akan bersama denga Kristus. Mereka menantiakan kebangkitan pada hari kedatangan Yesus yang kedua kali. Walaupun penghormatan terhadap leluhur adalah penghargaan terhadap nenek moyang mereka, tetapi penyembahan tetap dilarang dalam Hukum Taurat. Melalui pembahasan yang telah dilaksanakan, kita sudah mendapat suatu ukuran alkitabiah dan teologis untuk mancari alternatif model transformasi Kristen terhadap penyembahan nenek moyang.

DAFTAR PUSTAKA
Verkuyl, J.
1970,               Etika Kristen jilid 1, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Mariasusai Dhavamony,
1995,               Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius
Schreiner, Lothar
1994,               Adat dan Injil, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Min, Suh Sung
2001,               Injil dan Penyembahan Nenek Moyang, Yogyakarta: Media Pressindo
Gereja Masehi Injili di Minahasa,
1998,               Bertumbuh Dalam Kristus (Jilid II), Tomohon


[1] J. Verkuyl, Etika Kristen jilid 1, Jakarta: BPK, 1970, Hal. 58
[2] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995, Hal. 79
[3]Lothar Schreiner, Adat dan Injil, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994, Hal. 167-168
[4] Lothar Schreiner, Hal. 174-175
[5] Lothar Schreiner, Hal. 186
[6] Lothar Schreiner, Hal. 167
[7] Suh Sung Min, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang, Yogyakarta: Media Pressindo, 2001, Hal. 373
[8] Suh Sung Min, Hal. 247-248
[9] Suh Sung Min, Hal. 248
[10] Gereja Masehi Injili di Minahasa, Bertumbuh Dalam Kristus (Jilid II), Tomohon, 1998, Hal. 106-107
[11] Suh Sung Min, Hal. 253