Minggu, 15 Desember 2013

Kebudayaan Alkitab


KEBUDAYAAN DALAM KARYA PENYELAMATAN ALLAH
Banyak sekali pokok kebudayaan umum, norma-norma dan kebiasaan masyarakat yang diterima di Israel dan di bangsa-bangsa sezamannya juga. Dari segi etika timbul pertanyaan: bagaimana bangsa Israel yang unik tersebut dapat berhubungan dan berinteraksi dengan kehidupan sosial dan budaya itu? Di sini kita akan melihat masing-masing respon dalam konteks Perjanjian Lama kemudian mengemukkan beberapa petunjuk mengenai relevansinya bagi etika Kristen. 
       Pandangan Bangsa Israel Mengenai Kebudayaan Mereka Sendiri
Ada beberapa pratik kebudayaan pada masa itu yang menjijikkan di hadapan Allah dan karena itu dilarang bagi Israel. Umumnya praktik tersebut dihubungkan secara langsung atau tidak langsung dengan agama orang Kanaan. Larangannya terhadap praktik tersebut bukan hanya karena jahatnya praktik tersebut, tetapi karena Isarel dapat terjerat dalam penyembahan berhala dan ilah-ilah lain. Salain itu, dampak-dampak lain dari agama Kanaan atas masyarakat juga mendapat kecaman dari para nabi misalnya terhadap pelacuran bakti dan penyelewengan seksual lainnya. Praktik roh-roh jahat dilarang, termasuk perdukunan, ilmu sihir, pernujuman dan lain sebagainya. Yang paling ditentang adalah praktik pengorbanan anak, yang dalam Kitab Ulangan dipandang sebagai wujud yang paling buruk dari peribadatan yang “menjijikkan” itu (Ul 12:31).
Rolan de Vaux bertanya apakah pengorbanan anak sulung dipraktekkan secara teratur. Ia meragukan pembacaan harafiah dari teks Alkitab dan berpikir bahwa anak sulung itu pastilah ditebus.[1] Moshe Weinfeld berpendapat bahwa ungkapan seperti “membakar anak-anak laki-laki dan perempuan”, bisa dimaksudkan sebagai ritual inisiasi yang bukan pengorbanan, atau sebagai gambaran saja atau ungkapan hiperbola dari para nabi.[2]
Terhadap hal-hal tersebut, banyak mendapat pertentangan dari masyarakat Israel sendiri dan hal tersebut dapat terlihat dalam Keluaran 22:18; 23:24; Imamat 18:3, 21-25; 19:26,31; 20:2-6,22-23; Ulangan 12:29-31; 18:9-13, 17-18. [3] Jadi, masyarakat Isarel sangat ingin menjaga kebudayaan mereka agar terhindari dari hal-hal yang dilarang oleh Allah yang mengakibatkan mereka menerima hukuman Allah akibat pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, adat istiadat dan kebiasaan mereka dikendalikan oleh perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh mereka dan Allah. 
B.     Hubungan Kebudayaan Israel Kuno dengan Tradisi Keluaran, Sinai, dan Perjalanan di Padang Gurun
Ada beberapa perdebatan di kalangan para ahli tentang masalah hubungan “tradisi Sinai” dengan “tradisi Keluaran”. Tegasnya ada suatu kelompok ahli, termasuk Von Rad dan Martin Noth, yang berpendapat bahwa mula-mula kedua tradisi tersebut tidak ada hubungannya satu sama lain. Soal ini memang penting sekali dalam rekonstruksi sejarah agama Israel, sehingga kita perlu menyelidikinya secara lebih mendalam.
Martin Noth memulai observasinya dari daftar keduabelas suku Israel yang tampak dari beberapa tempat di Perjanjian Lama. Pusat kultus menurutnya ada dalam perjalanan bahtera Nuh dimana bergerak dari satu tempat ke tempat yang lainnya (Sikhem, Gilgal, Betel, dan Siloh) yang kemudian suku-suku tersebut mewakili juru-juru bicara dan penulis dari keduabelas suku Israel.[4] Setelah observasi yang dilakukan Noth , kemudaian diperkuat oleh penelitian VonRad sendiri.
Menurut mazhab Von Rad-Noth, tradisi Sinai mula-mula terlepas dari tradisi historis dan timbul berdasarkan motif-motif kultis (bnd. Ul 31:10). Corak perayaan pada masa raya itu pasti mempengaruhi perkembangan tradisi tentang penyataan di Sinai. Pada prinsipnya Noth mendukung pendapat yang demikian. Pendapat Noth dan Von Rad ini menarik bagi banyak ahli dan dikuatkan oleh Von Rad dengan uraiannya tentang “Kredo Historis” yang sangat kuno, yakni Ulangan 26:5b-9. Von Rad menemukan dalam beberapa pengakuan iman (kredo) dari keselamatan di dalam Ulangan 26:5 yang berisikan:
“Orang-orang Aram dulunya mengembara bersama bapa kami ke tanah Mesir dan menetap di sana; dan di sana kami menjadi bangsa yang besar, kuat, dan termasyur. Dan di sana orang-orang Mesir memperlakukan kami dengan kasar, menderita dan menjadikan kami budak. Ketika kami bersedih kepada Yahwe Tuhan bapa kami, dan Yahwe mendengar suara kami, kerja keras kami, dan penindasan yang kami derita; dan Yahwe membawa kami keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat dan lengan yang terulur; dengan kengerian yang besar; dengan tanda-tanda mengagumkan; dan Dia membawa kami ke suatu tempat dan memberikan kami tanah, tanah berlimpah susu dan madunya”.[5]
Von Rad mengaku bahwa “kredo” itu memang hanya terdapat dalam tradisi Deuteronomis. Namun, menurutnya kredo tersebut lebih kuno daripada tradisi-tradisi terkuno yang dikumpulkan dari oleh pengarang sumber Yahwis dan Elohis. Kredo tersebut menurut Von Rad disusun pada jaman awal sekali di Bait Gilgal. Kredo yang dianggap kuno itu menyebut para patriakh, keluaran, dan masuknya Israel ke tanah Kanaan, tetapi tidak menyinggung tradisi Sinai. Sehingga berdasarkan kenyataan itu, Von Rad berkesimpulan bahwa pada mulanya Sinai tidak merupakan bagian dari riwayat keluaran dan perebutan tanah Kanaan.[6]
Melihat pendapat dari Von Rad berdasarkan Ulangan 25:5b memang merupakan kredo yang kuno, tetapi justru itulah yang belum dapat dibuktikan. Corak penulisannya adalah corak khas dari Deuteronomistis. Dalam bentuknya sekarang, perikop tersebut tidak merupakan bahan kuno, bahkan tidak dapat disebut sebagai kredo, tetapi jelas merupakan suatu kata pengantar yang mengiringi persembahan buah sulung. Buah sulung ini biasanya dipersembahkan dalam perayaan mingguan, perayaan panen. Tujuannya adalah untuk menyatakan bahwa tanah dan apa yang dihasilkannya adalah milik Allah sbagai pencipta. Buah sulung itu merupakan simbol rasa syukur dan ketergantungan si pemberi kepada Yahweh; pada saat yang sama, buah sulung itu dianggap sebagai jaminan hasil panen di masa yang akan datang.[7]
Dalam persembahan itu si penyebah mengagungkan Yahweh sebagai Pemberi segala kebaikan, sebagai Pemberi tanah dengan segala penghasilannya. Singkatnya, tidak ada alasan untuk menganggap Ulangan 26:5b dan seterusnya sebagai suatu kredo kuno yang berasal dari Bait Gilgal. Tidak dapat dibenarkan kalau ayat-ayat tersebut dianggap sebagai ringkasan atas seluruh sejarah Israel, dari keluaran sampai perebutan tanah Kanaan. Dengan kata lain, perikop tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat untuk mengadakan analisis historis yang memisahkan tradisi-tradisi kuno yang termuat dalam sumber Yahweis dan Elohis.[8]
Berdasarkan beberapa bahan-bahan yang dikumpulkan tentang hubungan kesatuan tradisi, seluk-beluk keluaran, Sinai dan perjalanan di gurun disimpulkan bahwa kemungkinan besar tradisi Sinai merupakan bagian integral dari tradisi padang gurun. Pandangan alternatif bahwa tradisi padang gurun dan tradisi Sinai memang berasal dari periode yang sama dan timbul dalam lingkungan yang sama. Dapat dikatakan bahwa tradisi Sinai, yang menonjolkan gunung Allah dan penyataan Yahweh di atas gunung tersebut merupakan unsur mutlak dalam tradisi-tradisi dasar yang menjadi landasan kitab Keluaran. Nabi-nabi awal (yang terdahulu) juga (mis. Hosea) mengaitkan Keluaran dan Sinai (Hos 2; 4:2; 8:1,13; 13:4). Pembebasan dari Mesir mencapai puncaknya dalam Keluaran 19. Jadi, hubungan yang erat antara “riwayat Sinai Yahweh”, “riwayat Pembebasan dari Mesir”, “Perjalanan di gurun” dan “Perebutan tanah Kanaan” dapat diterima sebagai satu kesatuan tradisi[9] dan juga sebagai karya keselamatan Allah.
Israel menjadi percaya kepada Yahweh di padang gurun dan bukan dalam periode kemudian. Sebagai catatan bahwa batapa hangatnya ketegangan yang timbul antara agama Israel dengan agama Kanaan. Suku-suku Israel sebelumnya berjalan di gurun dan kemudian masuk ke tanah Kanaan, sekiranya mereka tidak mempunyai pokok kepercayaan yang kuat, pastilah tak mungkin mempertahankan dan mengembangkan agama Israel sampai mencapai ciri khas yang begitu kuat berhadapan dan bertentangan dengan agama Kanaan. Sudah tentu unsur-unsur agama Mesir, atau agama gurun, akan melebur dengan konteks dan adat istiadat Kanaan. 
C.     Hubungan antara Unsur Keagamaan dengan Hukum Dasa Titah.
Selanjutnya, ikatan antara Yahweh dengan Israel pasti menuntut adanya seorang pengantara. Musa dinilai sebagai oknum karismatis yang memang aktif sebagai pengantara antara Yahweh dengan umat. Hubungan dengan Yahweh bukanlah menjadi titik awal, melainkan menjadi puncak dari riwayat pembebasan Israel. Unsur keagamaan yang diwariskan Musa adalah Dasa Titah. Dasa Titah, para ahli masa kini pada umumnya berkesimpulan bahwa kedua unsur ini sebaiknya dikaitkan dengan periode padang gurun. Dengan kata lain, Dasa Titah itu mengandung unsur-unsur yang justru merupakan dasar untuk seluruh hukum pidana Israel. Bilamana dalam hukum Israel ada hukuman mati dituntut atas pelanggaran peraturan-peraturan tertentu, maka biasanya tuntutan yang ekstrem itu berkenaan dengan pelanggaran norma-norma yang digariskan dalam Dasa Titah etis (Kel 20; Ul.5). Dengan kata lain, Dasa Titah itu mengandung unsur-unsur yang justru merupakan dasar untuk seluruh hukum pidana.[10]
Menurut cerita di Sinai, Dasa Titah diberikan oleh Tuhan Allah kepada Israel (Kel 20:2-17). Meskipun Musa menjadi perantara, namun perannya dalam pemberitaan Dasa Titah adalah minimal. Dasa titah merupakan ringkasan yang sederhana tetapi menyeluruh tentang ketentuan-ketentuan hakiki hubungan perjanjian dan membatasi tingkah laku yang sesuai dengan keanggotaan umat Allah. Dengnan kata lain, Dasa Titah adalah kebijaksanaan yang menentukan etos dan arah dari semua undang-undang terinci lainnya.[11]
Sebagai kesimpulan dikatakan bahwa memang tak mungkin menentukan soal asal mula Dasa Titah; tetapi usul yang paling meyakinkan ialah bahwa Dasa Titah itu merupakan ringkasan prinsip-prinsip hukum yang paling awal, yang dimaksudkan memberi arah pada kehidupan masyarakat dalam semua hubungan internnya baik bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan.
D.    Hubungan Agama dan Kebudayaan
Banyak orang Yahudi ingin turut serta dalam perkembangan-perkembangan kebudayaan yang terjadi pada jaman itu, dan tidak mau diikat dengan larangan-larangan dan kebiasaan-kebiasaan kuno. Kebudayaan dan agama begitu erat hubungannya, sehingga orang Yahudi tidak mungkin mengambil kebudayaan dan menolak agama, atau sebaliknya. Misalnya peraturan-peraturan mengenai makanan haram dan halal, mengadakan pemisahan antara orang Yahudi dengan non-Yahudi. Peraturan-peraturan seperti itu tidak dapat dipatuhi secara penuh jika orang Yahudi sudah menerima kebudayaan Hellenisme. Itu berarti bahwa dengan mengambil alih kebudayaan tersebut, Torah dikesampingkan dan dengan demikian agama Yahudi ditolak, karena pada waktu itu “kepercayaan” dan ketaatan kepada Torah sudah hampir-hampir menjadi identik (hidup di bawah kekuasaan Torah).[12]
Torah sudah menjadi kanon pada zaman Ezra atau tidak lama kemudian, sehingga kaum Yahudi meyakini bahwa Torah tersebut merupakan penyataan Yahweh dalam bentuk tertulis. Mulai saat itu tidak satupun dalam Torah yang boleh ditambahkan, diubah, atau dikurangi, karena kitab itu dengan sendirinya merupakan firman Allah yang mutlak dan utuh. Orang terdorong mentaati Torah terutama karena rasa takut bahwa Allah akan menghukum individu maupun masyarakat kalau mereka melanggar. Jadi, ketaatan kepada seluk-beluk Torah menjadi norma kehidupan di Israel. Tiap aspek hidup keagamaan dan kemasyarakatan Israel dijaga ketat, supaya jangan ada unsur baru, jangan ada unsur non-Yahudi yang masuk kedalamnya. Tidak dapat disangkal bahwa ketaatan pada Torah yang begitu ketat itu membantu menyelamatkan dan mengawetkan masyarakat Yerusalem.
E.      Pandangan Teologi Tentang Budaya
Perjanjian Lama menolong kita untuk melihat bahwa ada beberapa aspek dari masyarakat yang jatuh ke dalam dosa, yang harus ditolak sebagai kekejian bagi Allah. Perjanjian Lama juga memisahkan diri daripadanya dan memberikan petunjuk mengenai ciri-cirinya. Secara umum dapat dikatakan bahwa ada empat hal yang secara teologisnya dilarang keras bagi Israel, yakni : penyembahan berhala, penyewengan dari yang wajar, perbuatan yang menghancurkan manusia dan kekejaman terhadap orang miskin. Orang Kristen sebagaiamana Israel dulu secara tidak sadar sering membatasi Allah hanya pada hal-hal keagamaan saja seperti ibadat Minggu, keselamatan dan sebagainya, sedang dalam kehidupan “sehari-hari” mereka melayani “ilah-ilah palsu” dari kebudayaan sekuler yang materialistis.
Pada jaman nabi-nabi, Allah adalah sumber dan dasar segala perkataan mereka. Dalam hal ini, apa yang dikatakan para nabi tentang Allah sejalan dengan hukum Taurat (Kel 22:22-24, 26-27; Ul 10:18-19). Namun, keprihatinan Allah terhadap orang yang lemah dan yang miskin perlu diungkapkan dengan hati-hati. “Allah berpihak pada orang miskin”. Allah tidak menutup mata terhadap dosa orang miskin, seolah-olah kemiskinan dan penindasan membuat korban-korban menjadi tidak bernoda dan tidak berdosa.
 “Kelahiran Israel sebagai Umat” telah sekian kali sempat kita kenangkan di dalam bab-bab sebelumnya mengenai Keluaran dari Mesir, pembimbing di padang gurun, dan Penyataan di gunung Sion. Namun di dalam segala hubungan tradisi tadi, umat itu baru nampak sebagai “tubuh sementara” yang belum jelas dan lengkap bentuknya. Kita membaca tentang “orang-orang Ibrani” (Kel 5,3) atau tentang “orang-orang Israel” (Kel 5,2), sekali juga tentang “banyak orang dari berbagai-bagai bangsa” yang turut dengan mereka keluar dari Mesir (Kel 12, 38). TUHAN sudah memilih dan mengangkat mereka menjadi “umatNya” (Kel 3,7; 6,7), tetapi umat itu seolah-olah belum dapat dikenal dari dekat, seakan-akan belum berdarah dingin, hanya digambarkan dengan sketsa yang sederhana.
Umat Israel sudah lahir pada waktu pembebasan dari Mesir, sudah ditahbiskan (dikuduskan) pada waktu pernyataan di Sinai[13], sudah dibimbing (digendong) pada waktu perjalanannya melewati padang gurun. TUHAN mengharapkan sesuatu sebagai response atau jawaban atas kemurahanNya : hasil yang berupa buah-buah dari pokok anggurNya, ketaatan yang suka rela dari pihak anakNya, kasih dan setia dari umat-Nya. Dengan pemberian tanah Kanaan dengan segala kekayaan yang ada didalamnya, dipakai TUHAN sebagai alat pendorong dan penggerak, bukan untuk mengancam atau mamaksa, melainkan untuk “menarik mereka supaya sadar akan panggilannya, aktif di dalam peranannya sebagai umat pilihan TUHAN di tengah-tengah bangsa-bangsa yang lain dengan suka-rela, sebagai orang dewasa yang bertanggungjawab sendiri! Dalam kesadaran dan kedewasaan, barulah umat itu akan menghayati berkat TUHAN dengan sungguh-sungguh.[14]
TUHAN memberikan pengalaman yang berbeda kepada umatNya di tanah Kanaan bukan semata-mata sebagai bangsa pilihan Tuhan yang diberikan hak sebagai hadiah, melainkan  TUHAN memberikan ujian apakah mereka dapat menerima warisan kebudayaan mereka di dalam kebudayaan yang berbeda di Kanaan, begitu juga dengan agamanya. Apakah warisan kebudayaan itu dapat tetap mereka junjung tinggi sampai keturunan-keturunan selanjutnya, sementara mereka melihat penyembahan terhadap “baal” bahkan sampai ada “tidak bertuhan”. Akan waspadakah umat Israel terhadap garis batas yang berbahaya itu? Jawaban itu semua ada di tangan bangsa Israel sendiri, karena keseluruhan itu sudah menjadi tanggungjawab mereka sendiri agar mereka dapat memahami arti dari karya keselamatan Allah yang diberikan TUHAN kepada mereka.
F.     Refleksi etis biblis : Sikap Orang Kristen kepada Budaya
Kita tidak dapat menerima kebudayaan kita sebagai sesuatu yang seluruhnya baik atau setidak-tidaknya dapat ditoleransi. Kita tidak dapat pula menolak kebudayaan itu sebagai sesuatu yang sama sekali jahat an menjijikkan. Kita harus mempertimbangkannya untuk membedakan yang  baik dan tidak baik.
Pertama, Perjanjian Lama menolong kita untuk melihat bahwa ada beberapa aspek dari masyarakat manusia yang jatuh ke dalam dosa, yang harus ditolak sebagai kenjijikan terhadap Allah. Untuk itu, orang Kristen harus menolak dan memisahkan diri daripadanya. Bukankah kita membutuhkan kecaman Perjanjian Lama yang keras terhadap penyembahan berhala, baik secara tersembunyi maupun terang-terangan dalam kebudayaan kita masa kini? Orang Kristen sebagaimana orang Israel dahulu secara tidak sadar membatasi Allah hanya pada hal-hal keagamaan saja seperti ibadat Minggu, keselamatan dan sebagainya, sedangkan dalam kehidupan “sehari-hari” mereka melayani “ilah-ilah palsu” dari kebudayaan sekuler yang materialistis.
Banyak hal yang dapat dilihat sebagai penyembahan berhala, penyelewengan, penghancuran atau kekejaman pada masa kini. Sebagaimana Israel dahulu, gereja juga dipanggil untuk memerangi hal-hal itu. Orang-orang Kristen hidup bekerja dan berhadapan dengan keadaan-keadaan dan struktur-struktur yang tidak memenuhi tolok ukur Allah. Misalnya di beberapa daerah orang Kristen masih berhadapan dengan masalah poligami dan untuk itu dituntut suatu respons. Tentu saja etika Alkitab memandangnya bertentangan dengan maksud Allah atas perkawinan. Dalam Perjanjian Lama, kasus poligami dapat ditoleransi, namun disertai kritik teologis yang radikal dan pemberitaan tentang norm-norma yang luhur. Apa yang dapat kita pelajari dari struktur sosial Israel adalah keluarga. Tentunya bagi orang Kristen keluarga adalah pemerian Allah yang patut didukung. Pengajaran mengenai keluarga dapat diterapkan dalam rujukan pada keluarga dalam masyarakat umum dan juga rujukan ke jemaat khususnya jemaat setempat sebagai keluarga atau rumah tangga Allah.[15]
Sekali lagi kita menemukan bahwa aspek-aspek sosial budaya dalam kehidupan Israel kuno secara tipologis menolong kita memahami umat Allah dalam Perjanjian Baru dan kemudian memberikan prinsip-prinsip etis yang baru dan relevan masa kini. Dalam hal ini, hakekat sosial dan fungsi jemaat yang benar sebagai rumah tangga Allah maupun hak-hak istimewa dan tanggungjawab setiap individu merupakan karya keselamatan Allah melalui kebudayaan.

DAFTAR PUSTAKA
Vaux, de Roland,
1964,   Studies in Old Testament Sacrifice, Cardiff: University of Wales
Wenfieleld, Moshe,
1972, The Worsip of Molech and of The Queen of Heaven and Its Background, UF 4
Wright,Christopher
 1995,  Hidup Sebagai Umat Allah (Etika Perjanjian Lama), BPK Gunung Mulia, Jakarta
Stolz, Fritz,
1974,   Interpreting The Old Testament, SCM Press LTD, Londond
King J. Philip & Stager, E. Lawrence
2010,   Kehidupan Orang Israel Alkitabiah, BPK Gunung Mulia, Jakarta
Vriezen,C.
2009,   Agama Israel Kuno, BPK Gunung Mulia, Jakarta
Barth, C.
2008,   Theologia Perjanjian Lama (jilid 1), BPK Gunung Mulia, Jakarta
2008,   Theologia Perjanjian Lama (jilid 2), BPK Gunung Mulia, Jakarta


[1] Roland de Vaux, Studies in Old Testament Sacrifice, Cardiff: University of Wales 1964, Hal. 71
[2] Moshe Wenfieleld, The Worsip of Molech and of The Queen of Heaven and Its Background, UF 4, 1972, Hal. 133
[3] Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah (Etika Perjanjian Lama), BPK Gunung Mulia, Jakarta 1995, Hal. 180
[4] Fritz Stolz, Interpreting The Old Testament, SCM Press LTD, Londond 1974, Hal. 106
[5] Fritz Stolz, Hal. 109
[6] Fritz Stolz, Hal. 109
[7] Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2010, Hal. 409
[8] C. Vriezen, Agama Israel Kuno, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2009, Hal. 129
[9] C. Vriezen,, Hal. 129
[10] C. Vriezen, Hal. 147
[11] Christopher Wright, Hal. 152
[12] C. Vriezen, Hal. 293
[13] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama (jilid 1), BPK Gunung Mulia, Jakarta 2008, Hal. 391
[14] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama (jilid 2), BPK Gunung Mulia, Jakarta 2008, Hal. 42
[15] Christopher Wright, Hal. 195

Tidak ada komentar:

Posting Komentar