PENGANGKATAN
TULANG-TULANG LELUHUR YANG TELAH MENINGGAL DALAM ADAT BATAK SEBAGAI SUATU
REKONSTRUKSI DALAM TRADISI GEREJA MASA KINI
Dilihat dari segi
kekristenan, ada juga beberapa pandangan yang mengakibatkan “kebudayaan” atau
dikenal dengan kata “adat” berlawanan dengan Injil. Hal ini disebutkan dengan
“adat yang bertentangan dengan Injil”. Verkuyl menulis bahwa kata “adat” berasal dari bahasa Arab “ada” yang berarti cara yang telah lazim
atau kebiasaan yang terjadi pada masyarakat.[1] Begitulah
yang sedang terjadi di beberapa kalangan orang Kristen mengenai kebiasaan yang
sudah masuk dalam kebudayaan saat ini. Ada yang dipandang baik dan ada pula
dipandang sebagai pemujaan terhadap leluhur.
Yang harus dimengerti
antara kedua bentuk yang berbeda ini dari kepercayaan dan praktik berkenaan
dengan leluhur, yang oleh beberapa orang sering dicampuradukkan. Pemujaan
leluhur dapat dirumuskan sebagai suatu kumpulan sikap, kepercayaan dan praktik
berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal dalam suatu
komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan. Akan tetapi ada banyak kasus
di mana orang mati tidak diilahikan, melainkan dianggap sebagai mahluk-mahluk
berkuasa yang kebutuhannya harus dipenuhi. Dengan membedakan penghormatan
kepada leluhur dari pemujaan kepada leluhur, dengan anggapan seolah mereka
adalah dewa-dewa, kita membatasi pemakaian istilah pemujaan terhadap leluhur
hanya dalam arti kedua.[2]
Hal inilah yang akan dibicarakan dalam tulisan ini mengenai salah satu
kebudayaan yang dianggap sebagai pemujaan terhadap leluhur.
Di Sumatera Utara
orang-orang Kristen menggali kuburan-kuburan tanah yang sementara. Sesudah
lewat waktu pembusuan yang dianggap perlu, lalu diangkatlah tulang-tulang itu
dan ditempatkan di dalam suatu kuburan semen dengan pelaksanaan upacara
tertentu. Mereka lalu mendirikan patung-patung buat nenek moyang mereka
kemudian menempatkan tulang-tulang mereka di dasar tugu itu. Hal ini menjadi
telah menjadi membudaya di kalangan orang-orang Batak pada umumnya dan masih
berkembang sampai saat ini terkhusus di daerah Sumatera Utara sampai saat ini.
Menurut pengakuan mereka, tradisi tersebut hanyalah untuk menjaga tradisi suku
saja. Tapi dalam percakapan dengan orang Batak dimana mereka mengatakan bahwa
ada sejumlah orang Kristen yang melakukan sesajian kepada nenek moyang secara
sembunyi-sembunyi, dikarenakan dilarang oleh gereja.
Pembangunan kubur dan
tugu yang bernuansa religius tersebut juga telah menjadi suatu sifat ingin
memperlihatkan kegengsian antar keluarga. Pembangunan tugu dan kuburan yang
mewah-mewah pada umumnya dibiayai oleh keluarga yang sudah kaya atau sukses.
Hal ini menjadi suatu fenomena yang berkembang di kalangan orang-orang Batak
sampai saat ini.
Secara teoritis
penghormatan atas orang mati, upacara untuk orang mati, dan pemakaman orang
mati berada di satu pihak, dan upacara tersebut harus dibedakan dari pemujaan
nenek moyang. Tidak semua orang mati yang dipuja sebagai bapa leluhur, tapi
bapa leluhur yang mempunyai kekuasaan dan mempunyai pengaruh yang istimewa
berdasarkan kedudukan, kekayaan, dan jabatan mereka di bumi.[3]
Upacara penggalian
tulang-tulang terus dijalankan oleh orang-orang Kristen. Pemakanam kembali atau
pemakaman secara meriah atau kelompok-kelompok tidak dilaksanakan bagi semua
orang mati, hanya bagi begu yang
sudah menjadi sumangot (roh nenek moyang yang dipuja). Tulang-tulang bapa
leluhur yang dipilih untuk dipindahkan itu dimakamkan kembali dalam kuburan
semen atau di ruang suatu patung nenek moyang. Pemindahan itu dilaksanakan
dengan upacara perayaan yang besar yang disebut dengan “pesta-turun. Perayaan
ini adalah perayaan terhormat dan paling banyak memakan biaya.[4]
Tujuan
pemberian sesajian kepada begu adalah agar begu itu tidak marah dan melakukan
tindakan kejahatan terhadap keluarganya. Orang Batak percaya bahwa begu itu
dapat membantu, menghibur, mengingatkan, dan memberi petuah kepada keluarganya.
Tetapi mereka juga dapat bertndak sebaliknya yaitu membawa bahaya, kesusahan,
bencana, penyakit dan bahkan kematian. Selain secara mistis, ada pula tujuan
lain dari orang Batak melakukan pembangunan tugu dan penggalian
tulang-belulang. Melalui ini, orang Batak juga ingin mencoba mencegah
berseraknya dan runtuhnya kelompok mereka. Pengaruh dari pembangunan tugu dan
penggalian tulang-belulang ini menjamin kesatuan geologis dan memperlihatkan
kebesaran keturunan demi masa depan anak cucu mereka kelak.[5]
Pandangan
Gereja Terhadap Tradisi Pengangkatan Tulang-tulang Leluhur
Mengenai apa sebenarnya
esensi dan makna pengangkatan tulang-tulang leluhur ini menjadi permasalahan
bukan hanya di kalangan Kristen, tetapi juga di kalangan masyarakat secara
umum. Screiner pernah menulis dalam bukunya yang ditulis pada tahun 1978,
“Orang dapat berkata bahwa pemujaan nenek moyang datang kembali. Dalam
pergaulan, orang-orang Kristen percaya bahwa orang yang mati dan bapa-bapa
leluhurnya itu dapat menyatakan diri sebagai asal mula dan pendorong adat.
Itulah sebabnya pengaruh kepercayaan itu terus menerus malahan menjadi seuatu
permasalahan inti buat gereja-gereja di Indonesia.”[6]
Nampaknya gereja
berupaya melakukan kontekstualisasi dengan mengangkat praktek-praktek warisan
kepercayaan tradisional itu dan memberinya makna baru. Sehingga sangat
ditekankan bahwa pembangunan tugu, pemindahan tulang-belulang dan hal lainnya,
yang bersangkut-paut dengan upacara kematian adalah sekedar sebagai
penghormatan para leluhur saja. Akhirnya banyak diantara orang-orang suku Batak
yang masih melakukan hal-hal tersebut tetapi bentuk sesajian-sesajian mulai
dihilangkan dikarenakan alasan pemujaan dari pemaparan yang dijelaskan gereja.
Tetapi masih ada sebagian yang melakukan sesajian-sesajian tersebut secara
diam-diam karena mereka masih meyakini pengaruh nenek moyang (sumber berkat)
terhadap kehidupan mereka.
Dalam gereja sendiri,
ada dua acara yang berkaitan dengan orang yang telah mati. Yang pertama adalah
“Pesta Paskah”. Pesta Paskah ini dilaksanakan di seluruh acara gereja. Di
gereja HKBP mengadakan kebaktian di kuburan dan banyak jemaat ikut melaksanakan
kebaktian ini. Tujuan kebaktian ini adalah untuk menanamkan pengajaran tentang
iman kebangkitan dalam hati jemaat. Pada umumnya, penekanan firman yang
disampaikan adalah tentang kebangkitan Yesus dan kebangkitan orang Kristen.[7]
Pelaksanaan ini merupakan suatu usaha kontekstualisasi yang dilakukan gereja,
dan hal ini dipandang positif dikarenakan dalam acara ini unsur penyembahan
berhalanya dihilangkan, dan bahkan dalam acara ini dapat diajarkan pengharapan
iman kebangkitan orang Kristen.
Selain Paskah, perayaan
yang lainnya adalah “Minggu Peringatan Orang Mati”. HKBP menjadikan minggu
terakhir pada kalender gereja sebagai “Minggu Peringatan Orang Mati”. Pada hari
Minggu tersebut diadakan kebaktian khusus di gerejabagi keluarga yang ditinggalkan
oleh almarhum. Melalui dua upacara inilah gereja HKBP cukup inisiatif, walaupun
masih ada sebahagian yang belum puas dan datang pagi-pagi ke kubur untuk
memberikan sesajian pada nenek moyang mereka. Usaha ini adalah salah satu usaha
kontekstualisasi yang dilakukan oleh gereja HKBP.
Pandangan
Alkitab Terhadap Tradisi Penggangkatan Tulang-belulang Leluhur.
Dalam Alkitab istilah
“Leluhur atau nenek moyang” sering digunakan. Tetapi tidak ada suatu ungkapan
bahwa nenek moyang harus menjadi sasaran penyembahan atau harus disembah. Konsep
tentang kematian dan konsep tentang kebangkitan inilah yang menyebabkan orang
Kristen percaya bahwa ritual pengangkatan tulang-belulang leluhur juga termasuk
dalam sesuatu tradisi yang ada dalam Alkitab. Menurut Paulus, kematian bukan
suatu titik akhir dalam kehidupan manusia. Paulus berpikir bahwa hari kematian
adalah hari yang mengakhiri perjuangan di dunia dan hari untuk menerima mahkota
kebenaran (2 Tim 4:7-8).
Keadaan jiwa ketika
mati menjadi pokok diskusi yang sering muncul di kalangan para teolog-teolog.
Banyak teolog yang menganggap bahwa ada unsur yang kekal pada manusia, yang
tidak dapat mati ketika manusia itu mati. Dalam Kejadian 2:7 dikatakan bahwa
“Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas
hidup (nisymat hayyim) ke dalam
hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi mahluk yang hidup (nefesy hayah)”. Yang menjadi pokok
masalah dalam ayat tersebut adalah apakah Tuhan Allah menghembuskan nafas hidup
ke dalam hidung mansia dengan menghembuskan “nafas-Nya” ke dalam manusia? Jika
Allah benar menghembuskan “nafas-Nya” ke dalam manusia, maka manusia menjadi
mahluk yang hidup di dalam dirinya adalah zat Allah, zat ilahi atau jiwa ilahi.[8]
Hal inilah yang dipahami kebanyakan orang sehingga anggapan ini disalah
artikan.
Menurut pandangan
kepercayaan orang Kristen yang Alkitabiah, Yesus sendiri mengalami kematian
secara fisik dan jiwa, maka Ia dianggap sebagai pengantara bagi keselamatan
orang-orang Kristen dalam gereja mula-mula. Melalui kematianNya, maka Ia dapat
mengatasi kematian. Jika orang ingin mengatasi kematian, maka ia harus
sungguh-sungguh mati. Bukan sekadar hidup sebagai jiwa yang immortal, melainkan
mengalami kehilangan kehidupannya. Untuk mengerti kepercayaan tentang
kebngkitan, kita harus membuang konsep Yunani yang berpendapat bahwa unsur
materi dan jasmani adalah jahat sehingga harus dihancirkan, dan kemayian tubuh
tidak menjadi kehancuran kehidupan. Alkitab tidak membedakan kematian dan
kehidupan diantara jiwa dan tubuh. Yang dikuasai oleh kebngkitan bukanlah
tubuh, melainkan kematian.[9]
Dalam Alkitab memang
terdapat kata : tubuh/daging, jiwa dan roh, namun bukan merupakan tiga unsur
yang dimiliki oleh manusia tetapi kata-kata itu menyatakan keseluruhan/keutuhan
manusia yang menggambarkan apa manusia itu. Apabila kita menyimak arti dan
maksud kata tubuh/daging, jiwa dan roh maka kesemuanya menunjuk pada keberadaan
manusia secara utuh. Jika demikian maka apabila seseorang meninggall dunia maka
manusia seantero yang meninggal dan bukan hanya salah satu unsur yang ada pada
manusia itu.[10]
Imago Dei bukan unsur rasio manusia
atau jiwa manusia yang tidak dipunyai oleh binatang-binatang. Penciptaan
manusia menurut gambar dan rupa Allah sangat berharga bagi manusia. Arti Imago
Dei adalah bahwa manusia adalah suatu eksisitensi untuk eksistensi yang lain.[11]
Jadi Imago Dei itu bukanlah unsur yang tetap yang diberikan secara kekal, dan
bukan pula substantia. Imago Dei adalah suatu harapan eskatologis yang harus
seslalu ditunjukkan oleh manusia. Itu bukan milik manusia, melainkan tugas yang
harus dilaksanakan mansuai. Konsep keadaan orang Kristen dalam paparan Paulus
adalah tetap dikuasai oleh kasih Kristus dan akan bersama denga Kristus. Mereka
menantiakan kebangkitan pada hari kedatangan Yesus yang kedua kali. Walaupun
penghormatan terhadap leluhur adalah penghargaan terhadap nenek moyang mereka,
tetapi penyembahan tetap dilarang dalam Hukum Taurat. Melalui pembahasan yang
telah dilaksanakan, kita sudah mendapat suatu ukuran alkitabiah dan teologis
untuk mancari alternatif model transformasi Kristen terhadap penyembahan nenek
moyang.
DAFTAR
PUSTAKA
Verkuyl, J.
1970, Etika Kristen jilid 1, Jakarta: BPK
Gunung Mulia
Mariasusai
Dhavamony,
1995, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius
Schreiner,
Lothar
1994, Adat dan Injil, Jakarta: BPK Gunung
Mulia
Min,
Suh Sung
2001, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang,
Yogyakarta: Media Pressindo
Gereja
Masehi Injili di Minahasa,
1998, Bertumbuh Dalam Kristus (Jilid II), Tomohon
[1] J. Verkuyl, Etika Kristen jilid 1, Jakarta: BPK, 1970, Hal. 58
[2] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Yogyakarta:
Kanisius, 1995, Hal. 79
[3]Lothar Schreiner, Adat dan Injil, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1994, Hal. 167-168
[4] Lothar Schreiner, Hal. 174-175
[5] Lothar Schreiner, Hal. 186
[6] Lothar Schreiner, Hal. 167
[7] Suh Sung Min, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang, Yogyakarta: Media Pressindo,
2001, Hal. 373
[8] Suh Sung Min, Hal. 247-248
[9] Suh Sung Min, Hal. 248
[10] Gereja Masehi Injili di Minahasa, Bertumbuh Dalam Kristus (Jilid II), Tomohon,
1998, Hal. 106-107
[11] Suh Sung Min, Hal. 253
Tidak ada komentar:
Posting Komentar