Minggu, 15 Desember 2013

REKONSTRUKSI TRADISI BATAK DALAM GEREJA



PENGANGKATAN TULANG-TULANG LELUHUR YANG TELAH MENINGGAL DALAM ADAT BATAK SEBAGAI SUATU REKONSTRUKSI DALAM TRADISI GEREJA MASA KINI
Dilihat dari segi kekristenan, ada juga beberapa pandangan yang mengakibatkan “kebudayaan” atau dikenal dengan kata “adat” berlawanan dengan Injil. Hal ini disebutkan dengan “adat yang bertentangan dengan Injil”. Verkuyl menulis bahwa kata “adat” berasal dari bahasa Arab “ada” yang berarti cara yang telah lazim atau kebiasaan yang terjadi pada masyarakat.[1] Begitulah yang sedang terjadi di beberapa kalangan orang Kristen mengenai kebiasaan yang sudah masuk dalam kebudayaan saat ini. Ada yang dipandang baik dan ada pula dipandang sebagai pemujaan terhadap leluhur.
Yang harus dimengerti antara kedua bentuk yang berbeda ini dari kepercayaan dan praktik berkenaan dengan leluhur, yang oleh beberapa orang sering dicampuradukkan. Pemujaan leluhur dapat dirumuskan sebagai suatu kumpulan sikap, kepercayaan dan praktik berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan. Akan tetapi ada banyak kasus di mana orang mati tidak diilahikan, melainkan dianggap sebagai mahluk-mahluk berkuasa yang kebutuhannya harus dipenuhi. Dengan membedakan penghormatan kepada leluhur dari pemujaan kepada leluhur, dengan anggapan seolah mereka adalah dewa-dewa, kita membatasi pemakaian istilah pemujaan terhadap leluhur hanya dalam arti kedua.[2] Hal inilah yang akan dibicarakan dalam tulisan ini mengenai salah satu kebudayaan yang dianggap sebagai pemujaan terhadap leluhur.
Di Sumatera Utara orang-orang Kristen menggali kuburan-kuburan tanah yang sementara. Sesudah lewat waktu pembusuan yang dianggap perlu, lalu diangkatlah tulang-tulang itu dan ditempatkan di dalam suatu kuburan semen dengan pelaksanaan upacara tertentu. Mereka lalu mendirikan patung-patung buat nenek moyang mereka kemudian menempatkan tulang-tulang mereka di dasar tugu itu. Hal ini menjadi telah menjadi membudaya di kalangan orang-orang Batak pada umumnya dan masih berkembang sampai saat ini terkhusus di daerah Sumatera Utara sampai saat ini. Menurut pengakuan mereka, tradisi tersebut hanyalah untuk menjaga tradisi suku saja. Tapi dalam percakapan dengan orang Batak dimana mereka mengatakan bahwa ada sejumlah orang Kristen yang melakukan sesajian kepada nenek moyang secara sembunyi-sembunyi, dikarenakan dilarang oleh gereja.
Pembangunan kubur dan tugu yang bernuansa religius tersebut juga telah menjadi suatu sifat ingin memperlihatkan kegengsian antar keluarga. Pembangunan tugu dan kuburan yang mewah-mewah pada umumnya dibiayai oleh keluarga yang sudah kaya atau sukses. Hal ini menjadi suatu fenomena yang berkembang di kalangan orang-orang Batak sampai saat ini.
Secara teoritis penghormatan atas orang mati, upacara untuk orang mati, dan pemakaman orang mati berada di satu pihak, dan upacara tersebut harus dibedakan dari pemujaan nenek moyang. Tidak semua orang mati yang dipuja sebagai bapa leluhur, tapi bapa leluhur yang mempunyai kekuasaan dan mempunyai pengaruh yang istimewa berdasarkan kedudukan, kekayaan, dan jabatan mereka di bumi.[3]
Upacara penggalian tulang-tulang terus dijalankan oleh orang-orang Kristen. Pemakanam kembali atau pemakaman secara meriah atau kelompok-kelompok tidak dilaksanakan bagi semua orang mati, hanya bagi begu yang sudah menjadi sumangot (roh nenek moyang yang dipuja). Tulang-tulang bapa leluhur yang dipilih untuk dipindahkan itu dimakamkan kembali dalam kuburan semen atau di ruang suatu patung nenek moyang. Pemindahan itu dilaksanakan dengan upacara perayaan yang besar yang disebut dengan “pesta-turun. Perayaan ini adalah perayaan terhormat dan paling banyak memakan biaya.[4]
Tujuan pemberian sesajian kepada begu adalah agar begu itu tidak marah dan melakukan tindakan kejahatan terhadap keluarganya. Orang Batak percaya bahwa begu itu dapat membantu, menghibur, mengingatkan, dan memberi petuah kepada keluarganya. Tetapi mereka juga dapat bertndak sebaliknya yaitu membawa bahaya, kesusahan, bencana, penyakit dan bahkan kematian. Selain secara mistis, ada pula tujuan lain dari orang Batak melakukan pembangunan tugu dan penggalian tulang-belulang. Melalui ini, orang Batak juga ingin mencoba mencegah berseraknya dan runtuhnya kelompok mereka. Pengaruh dari pembangunan tugu dan penggalian tulang-belulang ini menjamin kesatuan geologis dan memperlihatkan kebesaran keturunan demi masa depan anak cucu mereka kelak.[5]
Pandangan Gereja Terhadap Tradisi Pengangkatan Tulang-tulang Leluhur
Mengenai apa sebenarnya esensi dan makna pengangkatan tulang-tulang leluhur ini menjadi permasalahan bukan hanya di kalangan Kristen, tetapi juga di kalangan masyarakat secara umum. Screiner pernah menulis dalam bukunya yang ditulis pada tahun 1978, “Orang dapat berkata bahwa pemujaan nenek moyang datang kembali. Dalam pergaulan, orang-orang Kristen percaya bahwa orang yang mati dan bapa-bapa leluhurnya itu dapat menyatakan diri sebagai asal mula dan pendorong adat. Itulah sebabnya pengaruh kepercayaan itu terus menerus malahan menjadi seuatu permasalahan inti buat gereja-gereja di Indonesia.”[6]
Nampaknya gereja berupaya melakukan kontekstualisasi dengan mengangkat praktek-praktek warisan kepercayaan tradisional itu dan memberinya makna baru. Sehingga sangat ditekankan bahwa pembangunan tugu, pemindahan tulang-belulang dan hal lainnya, yang bersangkut-paut dengan upacara kematian adalah sekedar sebagai penghormatan para leluhur saja. Akhirnya banyak diantara orang-orang suku Batak yang masih melakukan hal-hal tersebut tetapi bentuk sesajian-sesajian mulai dihilangkan dikarenakan alasan pemujaan dari pemaparan yang dijelaskan gereja. Tetapi masih ada sebagian yang melakukan sesajian-sesajian tersebut secara diam-diam karena mereka masih meyakini pengaruh nenek moyang (sumber berkat) terhadap kehidupan mereka.
Dalam gereja sendiri, ada dua acara yang berkaitan dengan orang yang telah mati. Yang pertama adalah “Pesta Paskah”. Pesta Paskah ini dilaksanakan di seluruh acara gereja. Di gereja HKBP mengadakan kebaktian di kuburan dan banyak jemaat ikut melaksanakan kebaktian ini. Tujuan kebaktian ini adalah untuk menanamkan pengajaran tentang iman kebangkitan dalam hati jemaat. Pada umumnya, penekanan firman yang disampaikan adalah tentang kebangkitan Yesus dan kebangkitan orang Kristen.[7] Pelaksanaan ini merupakan suatu usaha kontekstualisasi yang dilakukan gereja, dan hal ini dipandang positif dikarenakan dalam acara ini unsur penyembahan berhalanya dihilangkan, dan bahkan dalam acara ini dapat diajarkan pengharapan iman kebangkitan orang Kristen.
Selain Paskah, perayaan yang lainnya adalah “Minggu Peringatan Orang Mati”. HKBP menjadikan minggu terakhir pada kalender gereja sebagai “Minggu Peringatan Orang Mati”. Pada hari Minggu tersebut diadakan kebaktian khusus di gerejabagi keluarga yang ditinggalkan oleh almarhum. Melalui dua upacara inilah gereja HKBP cukup inisiatif, walaupun masih ada sebahagian yang belum puas dan datang pagi-pagi ke kubur untuk memberikan sesajian pada nenek moyang mereka. Usaha ini adalah salah satu usaha kontekstualisasi yang dilakukan oleh gereja HKBP.
Pandangan Alkitab Terhadap Tradisi Penggangkatan Tulang-belulang Leluhur.
Dalam Alkitab istilah “Leluhur atau nenek moyang” sering digunakan. Tetapi tidak ada suatu ungkapan bahwa nenek moyang harus menjadi sasaran penyembahan atau harus disembah. Konsep tentang kematian dan konsep tentang kebangkitan inilah yang menyebabkan orang Kristen percaya bahwa ritual pengangkatan tulang-belulang leluhur juga termasuk dalam sesuatu tradisi yang ada dalam Alkitab. Menurut Paulus, kematian bukan suatu titik akhir dalam kehidupan manusia. Paulus berpikir bahwa hari kematian adalah hari yang mengakhiri perjuangan di dunia dan hari untuk menerima mahkota kebenaran (2 Tim 4:7-8).
Keadaan jiwa ketika mati menjadi pokok diskusi yang sering muncul di kalangan para teolog-teolog. Banyak teolog yang menganggap bahwa ada unsur yang kekal pada manusia, yang tidak dapat mati ketika manusia itu mati. Dalam Kejadian 2:7 dikatakan bahwa “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup (nisymat hayyim) ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi mahluk yang hidup (nefesy hayah)”. Yang menjadi pokok masalah dalam ayat tersebut adalah apakah Tuhan Allah menghembuskan nafas hidup ke dalam hidung mansia dengan menghembuskan “nafas-Nya” ke dalam manusia? Jika Allah benar menghembuskan “nafas-Nya” ke dalam manusia, maka manusia menjadi mahluk yang hidup di dalam dirinya adalah zat Allah, zat ilahi atau jiwa ilahi.[8] Hal inilah yang dipahami kebanyakan orang sehingga anggapan ini disalah artikan.
Menurut pandangan kepercayaan orang Kristen yang Alkitabiah, Yesus sendiri mengalami kematian secara fisik dan jiwa, maka Ia dianggap sebagai pengantara bagi keselamatan orang-orang Kristen dalam gereja mula-mula. Melalui kematianNya, maka Ia dapat mengatasi kematian. Jika orang ingin mengatasi kematian, maka ia harus sungguh-sungguh mati. Bukan sekadar hidup sebagai jiwa yang immortal, melainkan mengalami kehilangan kehidupannya. Untuk mengerti kepercayaan tentang kebngkitan, kita harus membuang konsep Yunani yang berpendapat bahwa unsur materi dan jasmani adalah jahat sehingga harus dihancirkan, dan kemayian tubuh tidak menjadi kehancuran kehidupan. Alkitab tidak membedakan kematian dan kehidupan diantara jiwa dan tubuh. Yang dikuasai oleh kebngkitan bukanlah tubuh, melainkan kematian.[9]
Dalam Alkitab memang terdapat kata : tubuh/daging, jiwa dan roh, namun bukan merupakan tiga unsur yang dimiliki oleh manusia tetapi kata-kata itu menyatakan keseluruhan/keutuhan manusia yang menggambarkan apa manusia itu. Apabila kita menyimak arti dan maksud kata tubuh/daging, jiwa dan roh maka kesemuanya menunjuk pada keberadaan manusia secara utuh. Jika demikian maka apabila seseorang meninggall dunia maka manusia seantero yang meninggal dan bukan hanya salah satu unsur yang ada pada manusia itu.[10] Imago Dei bukan unsur rasio manusia atau jiwa manusia yang tidak dipunyai oleh binatang-binatang. Penciptaan manusia menurut gambar dan rupa Allah sangat berharga bagi manusia. Arti Imago Dei adalah bahwa manusia adalah suatu eksisitensi untuk eksistensi yang lain.[11] Jadi Imago Dei itu bukanlah unsur yang tetap yang diberikan secara kekal, dan bukan pula substantia. Imago Dei adalah suatu harapan eskatologis yang harus seslalu ditunjukkan oleh manusia. Itu bukan milik manusia, melainkan tugas yang harus dilaksanakan mansuai. Konsep keadaan orang Kristen dalam paparan Paulus adalah tetap dikuasai oleh kasih Kristus dan akan bersama denga Kristus. Mereka menantiakan kebangkitan pada hari kedatangan Yesus yang kedua kali. Walaupun penghormatan terhadap leluhur adalah penghargaan terhadap nenek moyang mereka, tetapi penyembahan tetap dilarang dalam Hukum Taurat. Melalui pembahasan yang telah dilaksanakan, kita sudah mendapat suatu ukuran alkitabiah dan teologis untuk mancari alternatif model transformasi Kristen terhadap penyembahan nenek moyang.

DAFTAR PUSTAKA
Verkuyl, J.
1970,               Etika Kristen jilid 1, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Mariasusai Dhavamony,
1995,               Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius
Schreiner, Lothar
1994,               Adat dan Injil, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Min, Suh Sung
2001,               Injil dan Penyembahan Nenek Moyang, Yogyakarta: Media Pressindo
Gereja Masehi Injili di Minahasa,
1998,               Bertumbuh Dalam Kristus (Jilid II), Tomohon


[1] J. Verkuyl, Etika Kristen jilid 1, Jakarta: BPK, 1970, Hal. 58
[2] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995, Hal. 79
[3]Lothar Schreiner, Adat dan Injil, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994, Hal. 167-168
[4] Lothar Schreiner, Hal. 174-175
[5] Lothar Schreiner, Hal. 186
[6] Lothar Schreiner, Hal. 167
[7] Suh Sung Min, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang, Yogyakarta: Media Pressindo, 2001, Hal. 373
[8] Suh Sung Min, Hal. 247-248
[9] Suh Sung Min, Hal. 248
[10] Gereja Masehi Injili di Minahasa, Bertumbuh Dalam Kristus (Jilid II), Tomohon, 1998, Hal. 106-107
[11] Suh Sung Min, Hal. 253

Tidak ada komentar:

Posting Komentar