Minggu, 15 Desember 2013

Tinjauan Buku "Pemberita Firman Pecinta Budaya"



Tinjauan Buku “PEMBERITA FIRMAN PECINTA BUDAYA, Mendengar dan Melihat Karya Allah dalam Tradisi”, Eben Nuban Timo, PT. BPK Gunung Mulia, Jl. Kwitang 22-23, Jakarta, 159 halaman; 21 cm.
Seiring berjalannya waktu dan semakin berkembangnya zaman, Theologi juga semakin berkembang mulai dari penyataan Allah (firman Allah) sampai kepada pengalaman manusia (budaya), sehingga banyak terlahir teolog-teolog dengan Theologi-theologi-nya yang kita kenal sampai saat ini. Mereka berpendapat bahwa sebelum Alkitab dianggap sebagai sumber dalam memahami karya Allah, kebudayaan dan tradisi sudah ada dan dianut oleh para leluhur dari jaman dahulu sampai saat ini. Hal ini terlihat dari adanya tradisi-tradisi dan kebudayaan-kebudayaan yang masih berlaku sekarang yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang lain. Salah satu kebudayaan dan tradisi dalam bukunya “Pemberita Firman Pecinta Budaya” Eben Nuban Timo membahas kebudayaan masyarakat Timor dan makna teologisnya bagi konteks masa kini.
Dalam tulisannya tersebut, Eben ingin menyatakan bahwa di dalam seluruh tradisi orang Timor tidak semuanya baik dan benar. Masih banyak unsur kejahatan dan dosa didalamnya. Tetapi masih ada pula yang dianggap baik dan mulia. Masih ada nilai-nilai yang terbukti mampu menjaga keharmonisan hidup masyarakat. Bagi Eben yang perlu untuk dilakukan adalah mengenali Allah dan pekerjaan-Nya dalam budaya, bukan menggantikan budaya secara menyeluruh. Ia berpendapat bahwa tidaklah perlu membuang tradisi, tetapi memperbaharuinya. Dalam hal ini, Eben adalah orang yang sangat menghargai tradisi warisan nenek moyang.
Salah satu contoh penafsiran dan sudah membudaya dari masyarakat Timor yaitu tentang Perumpamaan Penabur (Matius 13:32-39), di mana pembaca diperhadapkan kepada konteks pulau Timor yang selalu dianggap kering dan berbatu-batu. Arti perumpamaan ini sangat kontekstual dengan alam dan tanah di Timor. Dari faktor tanah ini mengakibatkan lahirnya sebuah mitos yang mengatakan tanah Timor adalah pulau di balik kubur.
Setelah seorang penginjil bernama Piter Middelkoop datang ke daerah Timor dan melakukan sebuah penelitian tentang tanah di Timor. Ternyata bukan tanah yang tidak baik, tetapi orang-orang Timor sendiri yang tidak mau (malas) untuk mengolah tanah tersebut. Jadi penafsiran yang melahirkan mitos tersebut adalah berbicara tentang cara penabur dalam menabur benih, bukan di mana tempat benih itu akan ditabur (tanah). Tanah di sini tidak perlu digantih, tetapi cara kerja penaburlah (pendeta) yang harus ditingkatkan. Tanah dan budaya tidak bersalah. Manusialah yang harus menemukan jalan-jalan yang lebih utama lagi untuk mengolah dan mengusahakan potensi tanah tersebut.
Berbicara tentang mitos tersebut, kemungkinan besar mitos inilah yang menjadi faktor penghalang pekabaran Injil di Timor tidak diminati (ditakuti) oleh hamba-hamba Tuhan dan para misiolog. Sama halnya dengan pengalaman saya sewaktu pelayanan PKL di salah satu desa di Kalimantan Barat, tepatnya di desa Merah Arai. Desa tersebut adalah salah satu desa yang dihuni oleh masyarakat suku Dayak Kebahan yang sangat menjunjung tinggi tradisi mereka. Kurangnya pelayan ataupun hamba Tuhan ke daerah ini kemungkinan besar sama halnya dengan cerita di Timor, yaitu sebuah ketakutan. Ada pula ketakutan di mana masih banyaknya tradisi yang bersifat penyembahan, memakai jimat-jimat, dan membaca mantra-mantra. Selain itu juga adanya mitos suku Dayak primitif yang masih menganut kepercayaan Kanibalisme (makan daging manusia).
Berbicara tentang budaya dan Kristus, Eben berpendapat bahwa tugas kita sebagai penafsir kontekstual lebih baik berusaha menemukan Kristus yang sudah aktif dalam budaya-budaya, dari pada membawa Kristus masuk ke dalam budaya tersebut.  Saya sangat setuju dengan pendapat tersebut bahwa di dalam budaya tersebut juga terkandung makna teologis dari Allah. Semua tradisi dan kebudayaan yang ada di dunia ini tidak seluruhnya harus dipandang negatif, walaupun ada sebahagian besar bersifat magis atau penyembahan berhala.
Saya sendiri selaku orang yang terlahir dalam komunitas suku batak Karo telah banyak melihat suku batak Karo dalam pergaulan hidupnya diatur oleh budaya Karo (adat Karo), baik upacara perkawinan, penguburan, adat untuk anak, remaja, orang tua, pembuatan rumah adat memasuki rumah baru, adat dalam memperoleh tanah atau warisan, dan lain sebagainya. Selain ada perbedaan kebudayaan tetapi banyak juga persamaan antara kebudayaan Karo dengan Timor. Salah satu persamaannya adalah dari pengucapan syukur yang dilakukan dengan bentuk pesta atas hasil panen yang telah diterima. Bentuk pengucapan syukur ini adalah sebagai bentuk ucapan syukur masyarakat Karo (pesta tahun) atas pemberian dan penyertaan Tuhan (Dibata). Setiap desa berbeda-beda tanggal penyelenggaraan pesta tahun ini agar setiap desa atau tempat dapat saling mengunjungi, berbagi hasil, dan bergembira bersama dalam memupuk rasa kebersamaan dan kekeluargaan. Hal ini sangat dianggap baik dan positif sehingga masih berlaku di desa tanah Karo (kuta Karo) sampai sekarang.
Dari persamaan pemaknaan tradisi kebudayaan Timor dan Karo, ada juga perbedaan antara kedua tradisi ini. Perbedaan tersebut adalah mengenai cara, bentuk, dan pemaknaan tradisi tersebut. Salah satu contoh dari pemaknaan masyarakat Timor yang memberikan penghormatan kepada beras atau nasi sampai sampai apabila nasi yang terjatuh merupakan penghinaan kepada roh nasi tersebut. Dalam masyarakat Karo, beras dianggap pemersatu dalam keluarga (beras meciho) dan dibuang atau ditabur-taburkan ke atas kepala.
Sama halnya dengan pesta-pesta adat yang diiringi oleh gendang yang dinamakan gendang pengalo-ngalo begu oleh masyarakat Karo. Pemaknaan yang lama itu harus diubah bukan gendang tersebut yang dihilangkan. Pemaknaan tersebutlah yang harus dirubah adalah tentang kepercayaan kepada roh-roh halus digantih dengan rasa pengucapan syukur, musik pengiring pesta, dan lain sebagainya. Jadi, setiap kebudayaan itu bukanlah untuk dihilangkan melainkan untuk dirubah pemaknaannya.  
Untuk menghasilkan teologi yang kontekstual, yakni membuat pemberitaan firman menjadi alat yang efektif untuk membuat manusia hidup dalam situasi konkret dalam ketaatan kepada Allah, dan hidup dari anugerah, maka pengalaman-pengalam pendengar firman itu harus pula diperhatikan. Pengalaman-pengalaman, nyanyian-nyanyian, dongeng-dongen, air mata dan penderitaan harus dikaitkan dengan teologi Alkitabah. Jika kita melihat dari segi persembahan, ada suatu kebudayaan setempat yang belum bisa memberikan persembahan berupa materi atau uang tetapi hasil buah-buahan dan sayur-sayuran. Apakah hal tersebut harus diubah? Tentulah tidak mungkin.
Seorang tokoh ternama F.D. Schleirmacher berpendapat bahwa perasaan religius adalah hal yang terutama dan teologi bersifat derivatif. Ia harus secara konstan diperbaharui sesuai perubahan-perubahan di dalam komunitas Kristen. Baginya, tradisi perlu dikarenakan ia adalah pengalaman komunitas Kristen pada masa lalu yang kontenporer dan perlu diuji dengan pengalaman Kristen pada masa kini. Jadi dapat disimpulkan bahwa bagi Schleirmacher ada unsur-unsur tradisi teologi, kebudayaan kontenporer, dan pengalaman religius di dalam berteologi.
Kesimpulan dari keseluruhan pembahasan tentang Theologi dan kebudayaan adalah sesuatu yang dianggap perlu dan bukan untuk dihilangkan. Yang perlu adalah diperbaharui secara pemaknaannya agar tradisi-tradisi atau kebudayaan-kebudayaa yang bersifat mistis (kepercayaan kepada roh-roh) tersebut berubah menjadi karya Allah yang bekerja dalam kebudayaan tersebut, agar manusia yang berbudaya tersebut mempermuliakan nama Tuhan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar