Tinjauan Buku “PEMBERITA FIRMAN PECINTA BUDAYA, Mendengar
dan Melihat Karya Allah dalam Tradisi”, Eben Nuban Timo, PT. BPK Gunung
Mulia, Jl. Kwitang 22-23, Jakarta, 159 halaman; 21 cm.
Seiring berjalannya waktu dan semakin berkembangnya
zaman, Theologi juga semakin berkembang mulai dari penyataan Allah (firman
Allah) sampai kepada pengalaman manusia (budaya), sehingga banyak terlahir teolog-teolog
dengan Theologi-theologi-nya yang kita kenal sampai saat ini. Mereka
berpendapat bahwa sebelum Alkitab dianggap sebagai sumber dalam memahami karya
Allah, kebudayaan dan tradisi sudah ada dan dianut oleh para leluhur dari jaman
dahulu sampai saat ini. Hal ini terlihat dari adanya tradisi-tradisi dan
kebudayaan-kebudayaan yang masih berlaku sekarang yang berbeda-beda dari satu
tempat ke tempat yang lain. Salah satu kebudayaan dan tradisi dalam bukunya “Pemberita Firman Pecinta Budaya” Eben
Nuban Timo membahas kebudayaan masyarakat Timor dan makna teologisnya bagi
konteks masa kini.
Dalam tulisannya tersebut, Eben ingin menyatakan bahwa
di dalam seluruh tradisi orang Timor tidak semuanya baik dan benar. Masih
banyak unsur kejahatan dan dosa didalamnya. Tetapi masih ada pula yang dianggap
baik dan mulia. Masih ada nilai-nilai yang terbukti mampu menjaga keharmonisan
hidup masyarakat. Bagi Eben yang perlu untuk dilakukan adalah mengenali Allah
dan pekerjaan-Nya dalam budaya, bukan menggantikan budaya secara menyeluruh. Ia
berpendapat bahwa tidaklah perlu membuang tradisi, tetapi memperbaharuinya. Dalam
hal ini, Eben adalah orang yang sangat menghargai tradisi warisan nenek moyang.
Salah satu contoh penafsiran dan sudah membudaya dari
masyarakat Timor yaitu tentang Perumpamaan
Penabur (Matius 13:32-39), di mana pembaca diperhadapkan kepada konteks pulau
Timor yang selalu dianggap kering dan berbatu-batu. Arti perumpamaan ini sangat
kontekstual dengan alam dan tanah di Timor. Dari faktor tanah ini mengakibatkan
lahirnya sebuah mitos yang mengatakan tanah Timor adalah pulau di balik kubur.
Setelah seorang penginjil bernama Piter Middelkoop datang
ke daerah Timor dan melakukan sebuah penelitian tentang tanah di Timor.
Ternyata bukan tanah yang tidak baik, tetapi orang-orang Timor sendiri yang
tidak mau (malas) untuk mengolah tanah tersebut. Jadi penafsiran yang
melahirkan mitos tersebut adalah berbicara tentang cara penabur dalam menabur
benih, bukan di mana tempat benih itu akan ditabur (tanah). Tanah di sini tidak
perlu digantih, tetapi cara kerja penaburlah (pendeta) yang harus ditingkatkan.
Tanah dan budaya tidak bersalah. Manusialah yang harus menemukan jalan-jalan
yang lebih utama lagi untuk mengolah dan mengusahakan potensi tanah tersebut.
Berbicara tentang mitos tersebut, kemungkinan besar
mitos inilah yang menjadi faktor penghalang pekabaran Injil di Timor tidak diminati
(ditakuti) oleh hamba-hamba Tuhan dan para misiolog. Sama halnya dengan
pengalaman saya sewaktu pelayanan PKL di salah satu desa di Kalimantan Barat,
tepatnya di desa Merah Arai. Desa tersebut adalah salah satu desa yang dihuni
oleh masyarakat suku Dayak Kebahan yang sangat menjunjung tinggi tradisi
mereka. Kurangnya pelayan ataupun hamba Tuhan ke daerah ini kemungkinan besar
sama halnya dengan cerita di Timor, yaitu sebuah ketakutan. Ada pula ketakutan
di mana masih banyaknya tradisi yang bersifat penyembahan, memakai jimat-jimat,
dan membaca mantra-mantra. Selain itu juga adanya mitos suku Dayak primitif yang
masih menganut kepercayaan Kanibalisme
(makan daging manusia).
Berbicara tentang budaya dan Kristus, Eben
berpendapat bahwa tugas kita sebagai penafsir kontekstual lebih baik berusaha
menemukan Kristus yang sudah aktif dalam budaya-budaya, dari pada membawa
Kristus masuk ke dalam budaya tersebut. Saya sangat setuju dengan pendapat tersebut bahwa
di dalam budaya tersebut juga terkandung makna teologis dari Allah. Semua
tradisi dan kebudayaan yang ada di dunia ini tidak seluruhnya harus dipandang
negatif, walaupun ada sebahagian besar bersifat magis atau penyembahan berhala.
Saya sendiri selaku orang yang terlahir dalam
komunitas suku batak Karo telah banyak melihat suku batak Karo dalam pergaulan
hidupnya diatur oleh budaya Karo (adat Karo), baik upacara perkawinan,
penguburan, adat untuk anak, remaja, orang tua, pembuatan rumah adat memasuki
rumah baru, adat dalam memperoleh tanah atau warisan, dan lain sebagainya. Selain
ada perbedaan kebudayaan tetapi banyak juga persamaan antara kebudayaan Karo
dengan Timor. Salah satu persamaannya adalah dari pengucapan syukur yang
dilakukan dengan bentuk pesta atas hasil panen yang telah diterima. Bentuk
pengucapan syukur ini adalah sebagai bentuk ucapan syukur masyarakat Karo (pesta
tahun) atas pemberian dan penyertaan Tuhan (Dibata). Setiap desa berbeda-beda
tanggal penyelenggaraan pesta tahun ini agar setiap desa atau tempat dapat
saling mengunjungi, berbagi hasil, dan bergembira bersama dalam memupuk rasa
kebersamaan dan kekeluargaan. Hal ini sangat dianggap baik dan positif sehingga
masih berlaku di desa tanah Karo (kuta Karo) sampai sekarang.
Dari persamaan pemaknaan tradisi kebudayaan Timor
dan Karo, ada juga perbedaan antara kedua tradisi ini. Perbedaan tersebut
adalah mengenai cara, bentuk, dan pemaknaan tradisi tersebut. Salah satu contoh
dari pemaknaan masyarakat Timor yang memberikan penghormatan kepada beras atau
nasi sampai sampai apabila nasi yang terjatuh merupakan penghinaan kepada roh
nasi tersebut. Dalam masyarakat Karo, beras dianggap pemersatu dalam keluarga
(beras meciho) dan dibuang atau ditabur-taburkan ke atas kepala.
Sama halnya dengan pesta-pesta adat yang diiringi
oleh gendang yang dinamakan gendang pengalo-ngalo begu oleh masyarakat Karo.
Pemaknaan yang lama itu harus diubah bukan gendang tersebut yang dihilangkan.
Pemaknaan tersebutlah yang harus dirubah adalah tentang kepercayaan kepada
roh-roh halus digantih dengan rasa pengucapan syukur, musik pengiring pesta,
dan lain sebagainya. Jadi, setiap kebudayaan itu bukanlah untuk dihilangkan
melainkan untuk dirubah pemaknaannya.
Untuk menghasilkan teologi yang kontekstual, yakni
membuat pemberitaan firman menjadi alat yang efektif untuk membuat manusia
hidup dalam situasi konkret dalam ketaatan kepada Allah, dan hidup dari
anugerah, maka pengalaman-pengalam pendengar firman itu harus pula
diperhatikan. Pengalaman-pengalaman, nyanyian-nyanyian, dongeng-dongen, air
mata dan penderitaan harus dikaitkan dengan teologi Alkitabah. Jika kita
melihat dari segi persembahan, ada suatu kebudayaan setempat yang belum bisa
memberikan persembahan berupa materi atau uang tetapi hasil buah-buahan dan
sayur-sayuran. Apakah hal tersebut harus diubah? Tentulah tidak mungkin.
Seorang tokoh ternama F.D. Schleirmacher berpendapat
bahwa perasaan religius adalah hal yang terutama dan teologi bersifat
derivatif. Ia harus secara konstan diperbaharui sesuai perubahan-perubahan di
dalam komunitas Kristen. Baginya, tradisi perlu dikarenakan ia adalah
pengalaman komunitas Kristen pada masa lalu yang kontenporer dan perlu diuji
dengan pengalaman Kristen pada masa kini. Jadi dapat disimpulkan bahwa bagi
Schleirmacher ada unsur-unsur tradisi teologi, kebudayaan kontenporer, dan
pengalaman religius di dalam berteologi.
Kesimpulan dari
keseluruhan pembahasan tentang Theologi dan kebudayaan adalah sesuatu yang
dianggap perlu dan bukan untuk dihilangkan. Yang perlu adalah diperbaharui
secara pemaknaannya agar tradisi-tradisi atau kebudayaan-kebudayaa yang
bersifat mistis (kepercayaan kepada roh-roh) tersebut berubah menjadi karya
Allah yang bekerja dalam kebudayaan tersebut, agar manusia yang berbudaya
tersebut mempermuliakan nama Tuhan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar